CERPENKU

Cinta Suci itu Milikku


Sore itu Kayla baru saja pulang dari kantor, sebuah panggilan masuk membuatnya menghentikan langkah untuk sejenak. Nama Kak Sarah membuat keningnya berkerut heran, tumben Kak Sarah menelponnya sore-sore begini.
            “ Assalamualaikum Kak...”
            “Waalaikumussalam Kay, lagi dimana Dek?” Tanya Sarah.
            “Kayla lagi di jalan, mau pulang Kak, ada apa Kak?” Tanya Kayla.
“Kayla malam ini datang kerumah Kakak ya, ada syukuran keluarga, Okey....” Ujar Sarah
“Hm...gimana ya Kak, hari ini Kayla juga....” “Hm...cancel dulu Kay, Kak tunggu kamu pokoknya dirumah, sekarang...Kak sendiriannnya aja neh, Kak butuh bantuan kamu...bisa ya Kay...” Bujuk Sarah memaksa.
“Ya sudah, bentar lagi Kayla sampai Kak, tapi mandi dulu ya...” Ujar Kayla kemudian.
“Hm..makasih banyak ya Dek, hati-hati “ Ujar Kak Sarah terdengar sumringah. Telponpun ditutup.
“Ada-ada aja Kak Sarah, hm.....keluarga mereka amat baik padaku, aku jadi segan menolaknya” Guman kayla melanjutkan langkahnya.
Kayla datang sebelum maghrib, Mama dan Papa menyambutnya dengan senyum, Kayla jadi merasa berarti bagi keluarga itu. Di ruang tengah ia berpapasan dengan Fadhil, adik Sarah yang menjadi Trainer Internasional, wajahnya sering muncul di kolom motivasi diberbagai media, dan Kayla mengaguminya. Perasaan Kayla tiba-tiba aneh, ia merasa sangat grogi bisa melihat langsung wajah seorang Syamil Alfadil dari dekat seperti ini. Kayla mempercepat langkahnya ke dapur, takut ketahuan Fadhil rona mukanya sudah memucat.
            “Assalamualaikum Kak...” Sapa kayla memeluk mesra Sarah.
            “Banyak banget makanannya Kak?” Ujar Kayla menggeleng-nggeleng.
            “Nggak juga Kay, oh ya Kay potong agar aja yach..” Tuntun Sarah ramah.
“Kak ne acara syukuran keluarga aja ya Kak?” Tanya Kayla dengan muka polos.
“Iya Kay..kebetulan emang hanya semua keluarga besar yang hadir, kamu kan juga keluarga Kakak Kay...” Tanggap Sarah membuat Kayla merasa nyaman. Ia begitu dihargai.
“He..he...Hm..kakak kok cantik banget hari ini, hm...ayo...Kakak pake makeup  ya?” Ledek Kayla jenaka.
“Ya iyalah Kay, kakak kan udah punya suami, jadi sebagai seorang istri kita harus tampil cantik dan wangi, didepan suami, lagian itu sunnah lo Kay” Ujar Sarah tersenyum lucu, dengan celoteh polos Kayla.
“Iya..juga sich, kan disin keluarga Kakak aja ya..” Guman Kayla menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kayla terlibat obrolan yang menyenangkan dengan Sarah, ada-ada saja terkaan Kayla, ia menebak kalau ini acara syukuran atas kehamilan pertama Sarah. Sarah menanggapi dengan senyuman syukur penuh harap, semoga apa yang di duga Kayla menjadi kenyataan.
            “Amin Kay....kamu ini asal tebak saja, ini syukuran untuk Fadhil”
“Fadhil” Guman Kayla dalam hati, ketika nama itu terucap, kenapa tiba-tiba jantungnya seakan mau jatuh.
‘Fadhil akan melanjutkan studi S2nya ke Amerika, dan sekaligus acara pinangan pada calon istrinya, Fadhil berharap ia sudah menikah sebelum ke Amerika....begitu Kayla...” Ujar Sarah.
Jantung Kayla makin tak beraturan ritme mendengar penjelasan Sarah, tubuhnya terasa lemas, ingin jatuh lunglai didepan Sarah. Nama Fadhil dan berbagai bayangan memenuhi ruang angan Kayla. Ia diam-diam menyimpan cinta suci untuk Fadhil, namun ia tak berani mengungkapkannya, karena ia seorang muslimah, ada rasa malu ketika harus bertindak lebih dulu. Ia tidak ingin dikira lancang. Jarak mereka sangat jauh, jadi waktu berjumpa apalagi berinteraksi bisa di bilang tidak ada. Kayla hanya mengetahui sosok Fadhil dari  cerita-cerita Sarah, dan media yang selalu dikumpulkan Kayla, Kayla memiliki sebuah Album yang isinya tentang Fadhil, begitulah Kayla merawat cintanya itu, ia tak peduli sampai kapan Fadhil akan tahu, dan ia juga tak terlalu ambius untuk berharap terlalu banyak, biarlah kehidupan yang membawanya. Tapi entah kenapa, saat mendengar Fadhil telah punya calon istri, hatinya begitu sakit, Kayla berusaha menyembunyikannya dari Sarah. “Siapa aku? harus bermimpi seperti ini, dasar gadis Bodoh” Omel Kayla pada dirinya sendiri.
“Hm....siapa Kak, calon istrinya bang Fadhil, pasti orangnya sangat cantik” Ujar Kayla memuji, ia menelan ludah, ingin rasanya raib dari hadapan Sarah.
“Lho..kok jadi lemas gitu Kay” Tuduh Sarah mendengar nada suara Kayla berbeda.
“Hm...lemas, siapa yang lemas Kak, kak Sarah udah ketular penyakit asal aku juga ne...” Celetuk Kayla menyembunyikan wajahnya.
“Oh...calon istri Fadhil itu sangat cantik, baik, polos, dan asal ceplos aja kalau bicara, tapi itulah yang membuat Kak sayang sama dia” Jelas Sarah
“Pasti kakak dekat sekali demgan gadis itu ya kak, oh ya siapa namanya Kak?” Tanya Kayla lagi.
“Entar kamu juga bakalan tahu Kay...” Tukas Sarah menyusn kue ke piring.
“Oh...ya udah...oh ya kapan Bang Fadhil kesini Kak, setahu Kayla dia jarang banget di kampung ne, maennya  betah di kota aja.....pasti calon istrinya orang kota juga ya Kak..” Cerocos Kayla ingin  tahu, Sarah jadi nggak konsentrasi memotongnya.
“Nggak juga Kay, gadis itu orang minang Kok..” Ujar Sarah. Kayla mengangguk-angguk.
“Fadhil baru pulang dua hari yang lalu, dan besok mau ke medan, ada Training disana katanya..” Jelas Sarah.
“Hah..pergi lagi? Sibuk banget bang Fadhil, kasian juga entar istrinya tuch, bakalan ditinggal terus... “Cerocos Kayla.
“Apa..?” Sarah hanya mendengar samar-samar celotehan Kayla.
“Hm...nggak, beruntung sekali gadis itu, tapi ada kasihannya juga, karena bakalan sering ditinggal, karena Bang Fadhil sibuk banget” Tukas Kala cengengesan.
“Nggak juga Kay, tergantung komitmen kita juga, Kakak sama bang Angga gimana tuch...kakak kerja disini, Bang Angga kerja di Bandung...pulangnya cuma 3 bulan sekali, kalau sudah cinta jarak sejauh apapun akan terasa dekat....hm..” Desah Sarah bernostalgia.
‘Hm...ya juga sich Kak...makhlum kak, belum berpengalaman...Euy..” Tukas Kayla melucu.
Ketika obrolan itu semakin mengasyikkan, Mama datang dengan omelannya yang khas, “Aduh ngapain aja sich di dapur, acarany udah dimulai tuch, tapi anak gadisnya belum juga meuncul..ayo..” Gerutu mama menating piring kue-kue, Kayla dan Sarah hanya mengulun senyum. Keluarga sarah banyak sekali, rumah yang luasnya setengah lapangan bola itu penuh berisi sanak keluarga. Nenek duduk disudut dekat mama. Bapak-bapak tampak masih mengobrol, Fadhil tampak duduk dengan tenang dengan saudara-saudara sebayanya. Kayla duduk menyatu dengan keluarga Sarah, ia duduk di sebelah Sarah, sesekali ia mencuri pandang kearah Fadhil yang tepat lurus didepannya, ketika beradu pandang, Kayla membuang muka. Jantungnya berdegup kencang, seakan mau berperang...Huyyy.
            “Assalamualaikum..warahmatullahiwabarokatuh.....sanak saudara kalian” Suara papa membuka acara, semua hadirin diam mendengarkannya. Papa sangat pandai membuka acara itu dengan kalimat-kalimatnya yang penuh makna, tidak ada yang melengah, semua fokus mengikuti satu persatu kalimat papa. Seusai dibuka, acara dilanjutkan dengan sesi berbalas pantu. Sesi yang amat asyik, mengundang tawa, tak butuh waktu rumah itupun penuh dengan suara tawa dan cekikikan malu kaum ibu. Kayla sampai terpingkal-pingkal dibuatnya.
            “Kak....tradisi keluarga kakak, memang kayak gini ya?” tanya Kayla berbisik.
            “Iya Kay....kakak paling suka sesi yang ini...” tanggap sarah antusias.
Tampa sengaja ekor matanya meradu dengan pandangan Fadhil, Kayla menunduk malu. “aduh...santai aja Kay...ia sudah punya calon istri.....santai..munkin saja ia memandang gadis yang disebelah kamu” Batin Kayla. Dari tadi ia juga sudah menerka-nerka kalau gadis cantik disebelahnyalah yang akan menjadi calon istri Fadhil.
            “Baiklah....kami sekeluarga besar  sangat berterima kasih akan kehadiran sanak saudara, dan handai taulan yang disini, perihal kami mengadakan syukuran ini adalah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan pada keluarga besar ini, sekaligus mohon doa, karena Fadil akan melanjutkan sekolahnya ke Amerika pada tahun ini” Jelas Papa panjang lebar.
“Dan sekaligus acara peminangan pada gadis pilihan Fadhil” Lanjut Papa membuat semua deg-degan menunggu kelanjutan ucapan Papa. Semua mata tertuju kearah Kayla, Kayla semakin yakin kalau gadis yang beruntung itu adalah gadis yang disebelahnya.
            “Iya...Mama sangat bersyukur sekali, akhirnya Fadhil mendapatkan jodoh yang terbaik, semoga kedepannya kalian bahagia....” sambung mama tampak bahagia. Fadhil hanya tersenyum sambil mencuri pandang kearah Kayla. Kayla malah makin kecewa, ia ingin lari rasanya, pemuda yang ia cintai sebentar lagi akan menikah dengan orang lain. “Kami mewakili Fadhil ingin meminang Nak Kayla, bagaimana Nak?” Ucapan itu terdengar samar karena keributan yang tiba-tiba. Semua diam, Kayla ikut-ikutan sambil memandang gadis yang disebelahnya, namun Kayla malah merasa kalau dirinyalah yang sekarang jadi objek perhatian.  Kayla memandang sarah, sarah tersenyum mengangguk. “Ayo..Kay...semua orang sedang menunggu jawaban kamu....” Ujar Sarah, Kayla terngaga, rasa tak percaya membuatnya belum yakin akan apa yang dialaminya. Kayla beralih pandang pada Fadhil, namun Fadil malah menundukkan pandangannya. Kayla belum siap menerima kejutan itu, langkahnya ingin cepat belari, iapun bangkit dan lari keluar.
“Subhanallah.....apa yang terjadi padaku ya Rabb...apakah ini mimpi?” Gumam Kayla menatap mobil yang lalu lalang diluar.
“Maaf...kayla....”Sebuah panggilan sopan dan lembut membuat bulu roma Kayla berdiri, jantungnya semakin berguncang, ia tidak ingin menoleh kebelakang.
“Kayla....kamu tidak apa-apa?” Lanjutnya makin membuat Kayla bingung.
“Hm...Hai..” lanjut Kayla akhirnya membalikkan badannya, ia lihat Fadhil berdiri didepannya, ia memandang Fadhil namun pikirannya kosong.
“Apa ini mimpi?” Desah Kayla bicara sendiri.
“Hm....kenalkan nama saya Haritsah Kayla, biasa dipanggil Kayla, seorang mahasiswi Psikologi, yang sedang nyambi kerja disalah satu lembaga privat...senang bertemu dengan anda” Cerocos Kayla membuat Fadil berkerut kening, ia bingung.
“Saya berharap ini hanya mimpi, karena mustahil...” Gumam Kayla, ia biarkan jilbabnya melambai dikibar angin, membawa riak-riak rasa yang sekarang tak berketentuan simpulnya.
“Ini kenyataan Kay, saya memang meminang kamu...” Tegas Fadhil.
“Apa??...atas dasar apa? Kita belum saling kenal, anda tidak tahu saya, saya tidak mau anda meminang saya karena paksaan seseorang....saya tidak mau menikah dengan  cara itu” Ujar Kayla melantur.
“ Dipaksa!! Tidak ada paksaan siapapun, saya tulus mencintai kamu, maaf saya lancang, namun jika memang kamu merasa dipaksa, saya ikhlas” Kata-kata Fadhil membuat Kayla makin bimbang.
“Tapi ini tidak adil...saya masih ragu dengan hubungan ini” Desah Kayla.
“Dan saya yakin dengan hubungan ini! Karena saya punya ini” Tegas Fadhil memperlihatkan sebuah album, Kayla amat terkejut, itu album tentang biografi Fadhil yang diam-diam di buatnya. Kayla tak bisa berkata apa-apa lagi, matanya berkaca, hawa dingin seakan memberikan kesejukan tersendiri di kepala yang tadi menguap itu.
“Maafkan kakak Kayla, Kakak mendapatkan album ini dari Fitri, dan Kakak sangat bahagia, karena Fadhil diam-diam juga mencintai kamu, Kak menemukan diari milik Fadhil secara tak sengaja, dan setelah Kak tanya, Fadhilpun mengakuinya, dan menyampaikan hasratnya kepada kakak”
“Cinta tak harus kenal dan saling berinteraksi secara lahiriah Kay, biografi ini telah membuktikan bahwa kamu sangat mengenal Fadhil, begitu juga dengan Fadhil, kalian punya ikatan cinta suci, dan alangkah indahnya apabila di tuntun ke singgasana kehidupan rumah tangga, yang menjadi sunnah Rasulullah” Jelas Sarah yang tiba-tiba hadir, panjang lebar.
Kayla tak dapat menahan harunya, tetes bening rasa cita menetes ke bumi, ia terharu dan bahagia atas skenario Tuhan untuknya kali ini, dengan penuh kekusyukan iapun berdoa, sambil memeluk erat Sarah.

Vivel Kayyisah
8 Februari 2011, 21.46, kamar InspirasiQ






Aku Bukan Kamu




Langit hari ini begitu cerah, di jalan setapak menuju pemukiman di kaki bukit itu, tampak dua sejoli yang berlari- larian. Memacu langkah siapa  yang akan sampai rumah paling cepat. Banyak mata yang memperhatikan tingkah dua gadis itu.Mereka seakan tidak peduli dengan mata-mata yang terus acuh dengan langkah-langkah mereka, lepas dan tak ada beban, melangkah dan berlari sesuai rasa, kecerian yang alami.
“Cinta....tunggu....?” Seru Vina yang ketinggalan langkah di belakang Cinta, Cinta menggodainya dengan melangkah lebih cepat. “Ayo..na...kamu harus bisa kejar aku....” Pekik Cinta melambaikan tangan. Vina punya tubuh yang lebih berisi dari pada Cinta yang memiliki tubuh yang langsing, jadi kalau urusan siapa yang cepat, pasti Cinta yang selalu menang. Rumah mereka berdekatan, hanya dipisahkan oleh beberapa rumah, mereka satu sekolah, dan sebentar lagi akan UAN, Cinta dan Vina sama-sama ingin bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi kondisi penghidupan mereka sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, biaya masuk universitas sangat mahal.
            Setiap orang punya impian, begitu juga dengan Cinta dan Vina, mereka terus menjaga mimpi mereka, tak peduli dengan kondisi keluarga, mereka tetap menjaga keinginan aga dapat terus bersekolah. Namun semuanya berubah seiring perjalanan waktu, tak semuanya yang bisa bertahan untuk menggapai mimpinya, walaupun Cinta dan Vina sudah sama-sama berkomitmen untuk tetap menjaga mimpinya, di akhir perpisahan sekolah semuanya seakan berbeda arah.
            Suatu siang di pinggir sungai, Cinta dan Vina sama-sama mengembalakan kerbau milik mereka. Sudah menjadi kegiatan sehari-hari para gadis remaja didesa itu mengembalakan kerbau, kalau sedang tidak sekolah.
“Cinta.....apa yang kamu pikirkan saat ini?” Tanya Vina memainkan rumput liar yang hijau.
“Hm....” Cinta tampak berfikir.
“Kalau kamu?” Cinta balik bertanya.
“Hm...aku merasa lega, karena sudah melewati masa-masa Indah SMA kita, dan aku ingin cepat-cepat menginjakkan kaki di dunia campus....Hm....izinkan Ya Rabb” Guman Vina memejamkan mata, membayangkan dirinya sedang kuliah.
“Amin....” Ucap Cinta.
“Kalau kamu rencananya akan melanjutkan ke mana, dan jurusan apa Cinta?” Tanya Vina cerewet.
“Hm....aku nggak tahu Na, aku pesimis akan bisa kuliah” Ujar Cinta membuat Vina terheran.
“Kenapa....bukankah orang tua kamu, telah janji akan mengusahakan kamu, untuk bisa kuliah!” Seru Vina menekan.
“Iya...tapi itu dulu Na, sekarang kondisinya berbeda lagi” jawab Cinta pelan, ia tak berani menatap Vina yang makin bingung.
“Makhsud kamu apa Ta?....jadi kamu mau pendam mimpi kamu untuk terus kuliah?” Tanya Vina dengan nada bergetar.
“Entahlah...Na, aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi nanti...yang jelas aku akan menikah tiga bulan lagi” Cinta terdengar pasrah, Vina malah terbelalak mendengar statement Cinta.
“Apa??? MENIKAH” Pekik Vina.
“Apa makhsud kamu Ta, dalam usia sebelia ini kamu akan menikah?? Cinta kamu kok jadi begini sih, kita masih punya mimpi, bukankah kita sudah janji akan ngampus bersama, dan sukses bersama, Hm...kenapa jadi begini sekarang??” Desah Vina sedih.
“Maafkan aku Na, aku tak menepati janji....aku terpaksa menerima lamaran pemuda itu, dan dia juga berjanji akan menguliahkan aku setelah menikah nanti” Cinta memberi pengertian pada Vina.
“ Apa? dan kamu percaya dengan ucapan pemuda itu?” Cinta hanya terdiam mendengar tanggapan Vina.
“Sudah banyak yang jadi contoh Ta, dulu  Uni Sarah juga bilang begitu, kalau sudah menikah nanti, suaminya berjanji akan menguliahkan dia, tapi toh buktinya apa? Uni Sarah malah punya anak, dan malu untuk kuliah lagi, dan parahnya, suaminya bangkrut sehingga Ni Sarah, harus ikut bakureh untuk mencukupi keluarganya.
“Ya...mudah-mudahan aku janganlah seperti Uni Sarah, Na. Aku telah memikirkan ini masak-masak, dan aku bersedia menerima resiko yang akan terjadi jika hal itu memang ditakdirkan untukku” Jawab Cinta pelan, ada nada kecewa di getaran suaranya.
“Berpikir matang?, apakah gadis seusia kita sudah harus memikirkan hal itu Ta, kita belum bisa berpikir sematang itu Ta, kita masih punya mimpi, kita tidak boleh menyerah begitu saja pada kehidupan ini” Vina makin menggebu-gebu, egonya untuk meraih mimpi membuatnya tak lagi peduli dengan retorika yang ia ucapkan.
“Terserah kamu Na, aku bukan kamu...ingat..aku bukan kamu, seerat apapun ikatan kita sekarang, sekuat apapun mimpi yang terucap diantara kira dulu, itu akan berubah pada masing – masing kita, seiring perjalanan waktu, ini adalah keputusanku, aku hanya butuh dukunganmu untuk bisa melewati ini semua, jangan biarkan aku mempertahankan Egoku, dengan mendurhakai kedua orang tuaku yang telah menyetujui keputusan ini. Ucapan Cinta terakhir begitu dalam, membuat Vina hanya menatapnya dengan lesu.
Vina tak bisa berbicara lagi, sudah habis kosa kata yang ada di fikirannya, keputusan sahabatnya itu tak dapat di sanggahnya lagi. Ia terus mencoba mencari kata-kata yang dapat membelokkan kembali hati Cinta, agar tetap bertahan dengan mimpinya, namun penjelasan Cinta yang terakhir cukup membuatnya bungkam untuk kali ini, ia pun menatap kosong kedepan, kepalanya dipenuhi beragam presepsi dan kontradiksi. Impiannya untuk melanjutkan kuliah dengan teman sebayanya Cinta, kandas meninggalkan jejak-jejak yang ternyata hanya buih. Vina menyayangkan keputusan orang tua Cinta, yang rela menikahkan anaknya dalam keadaan sedini ini, dari pada menyekolahkannya tinggi-tinggi. Itulah fenomena yang terjadi di kampung kecil itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangat kurang. Apalagi untuk para wanita, mengecap bangku SMA saja, sudah suatu keberuntungan, kebanyakan para gadis setamat SMA hanya tinggal dirumah, membantu orang tua bertani, mengembala, sampai ada orang yang meminangnya untuk di jadikan istri. Sebatas itukah peran wanita di dunia ini? “Non Sen” Vina tidak ingin itu terjadi pada dirinya, makanya ia mati-matian mempertahankan mimpinya untuk bisa ke kota dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, ia ingin suatu hari nanti menjadi orang besar, dan menjadi contoh di kampungnya, ia ingin mengubah paradigma masyarakat kampungnya akan pentingnya pendidikan.
“Maafkan aku Na...kamu harus janji, kamu harus Sukses untuk aku” Lanjut Cinta kemudian. Vina merasa iba dengan sahabatnya itu, ia yakin itu bukan keputusan Cinta dari hatinya, ia hanya tidak ingin jadi anak yang durhaka, kalau sampai menolak pinangan laki-laki yang di calonkan orang tuanya. Vina memeluk Cinta, mereka  larut dan bertangis-tangisan.
‘Ta...tanggal berapa kamu akan menikah” tanya Vina, Cinta mengeleng, ia tidak tahu, semua tentang pernikahannya di atur oleh orang tuanya, Vina memeluknya kembali, ia terharu dan sedih membayangkan nasib yang menimpa sahabatnya itu. Vina dan Cinta kembali larut dalam pikiran masing-masing, sampai sorepun menjelang, berganti malam, merekapun membawa kerbau ke kandang.
            Suatu siang sebelum keberangkatan Vina ke kota, Amak mengajaknya berbicara.
“Nak....bagaimana perasaanmu saat ini” tanya Amak lembut sambil mengunyah daun sirih.
“Hm....Vina sudah tak sabar berangkat ke kota Mak, Vina ingin sekali kuliah di kota” Jawab Vina sumringah.
“Syukurlah kamu masih bersemangat Nak, Amak jadi bersemangat juga untuk bakureh demi impian kamu” Ujar  Amak tersenyum.
“Nak....kamu masih ingat tidak, dengan Uda Zainal, yang dulu sering main gundu denganmu saat masih kecil” kata Amak, membuat Vina tidak ngeh, ia pura-pura tidak mendengar, karena ia sedang anti dengan yang namanya lelaki.
“Hm....Vina nggak ingat Mak, yang namanya Zainal kan banyak  dikampung ini” Ujar Vina acuh. “Itu lo Na, anaknya Pak Buding, yang punya kedai d ujung jalan, dia sudah pulang dari rantau, dan katanya mau mencari istri orang kampung,” “Hm...beruntung sekali gadis yang mendapatkannya, katanya ia sukses di rantau Na” Ujar Amak dengan nada yang memuakkan Vina. “Lalu kenapa, apa hubungannya dengan Vina Mak” bathin Vina. “Mudah-mudahan Mak...” tanggap Yuna tak seperti yang Amak harapkan.
            “Vina...kemaren bapakmu berkunjung kesana, dan iseng-iseng  ia menawarkan putrinya untuk dikawinkan dengan Zainal, eh tau-tau Zainal menaggapinya dengan nada memberi peluang, walaupun dalam canda....jadi menurut bapak dan Amak ini peluang besar untuk kamu Nak” Tutur Amak buka-bukaan.
“Makhsud Amak?? jangan bilang Amak dan Apak berubah pikiran untuk menguliahkan Vina, Vina nggak mau Mak, Vina.....Nggak mau menikah dalam usia semuda ini...Vina mau kuliah TITIK...” Ungkap Vina tegas, Amak hanya bisa menelan ludah.
“Tapi....kamu juga akan bisa kuliah kalau sudah menikah, hidupmu akan lebih terjamin” lanjut Amak masih berusaha membujuk Vina.
“Terjamin?...siapa yang menjamin?..apa Amak bisa menjamin.....Vina nggak percaya jaminan itu Mak, udah banyak yang jadi korban iming-iming akan kuliah setelah menikah, tapi apa? Ada Amak lihat buktinya.....semuanya BOHONG Mak...Bohong....” Vina mulai tersekat, ia menahan tangis, ingin ia ungkapkan semua buah pikir yang tiap kali ia rasakan, ia berusaha memberi pandangan pada Amak, tapi apalah pengaruh kata-kata Vina bagi seorang Amak yang hanya mengenyam pendidikan terakhir di kelas dua SD, membaca dan menulis adalah bekal Amak dalam mendidik Vina dan adik-adiknya selama ini.
            “ Mak... Vina hanya ingin Kuliah Mak...mohon Ridhoi Vina Mak” Desah Vina menghiba. Amak tampak mashgul, ia sebenarnya juga mendukung Vina untuk terus bersekolah, Amak tergolong orang tua yang berpikiran maju, mungkin karena kata-kata yang diluar beragam konteks, pandangannya, membuat Amak jadi patah semangat, dan timbul niat untuk mencari alternatif instan untuk meguliahkan Vina dengan menikahkannya dulu. Tapi Amak baru sadar, terbuka pikirannya setelah ungkapan Vina yang memberikan beberapa pandangan dan contoh-contoh yang telah terjadi.
“Hm...kalau memang seperti itu keinginan kamu, Amak tak bisa memaksakannya Nak, Tapi Amak pesimis akan bisa membiayai kamu sampai selesai, Amak takut kamu harus berhenti di tengah jalan, Amak ndak mau kamu jadi kayak Si Rita, ia sekarang gila karena tak dapat melanjutkan kuliah lagi, itulah yang menjadi pertimbangan Amak Na” Lanjut Umak kemudian.
“Insya Allah Mak....Vina janji akan kuliah semaksimal mungkin, biar bisa dapat beasiswa, jadi Vina akan bisa membiayai kuliah sendiri, kata kakak kelas Vina yang kemaren datang ke sekolah, ia bilang Kuliah bukanlah sesuatu hal yang ditakuti lagi bagi golongan tak berduit, di kampus banyak sekali beasiswa yang bisa kita dapatkan, apalagi kalau di kota, perhatian pemerintah akan pendidikan lebih tinggi dari pada di desa Mak....Amak percaya sama Vina, Vina tidak akan macam- macam, Vina hanya ingin Rhido Amak dan Apak” Desah Vina bergetar, ia memeluk Kaki Amak dengan khidmat, ia menagis dalam ucapan doa agar Allah melunakkan hati Amak agar mendukungnya untuk kuliah.
Waktupun bergulir bak roda pedati yang terus melaju, meninggalkan jejak-jelak pengalaman yang menjadi spion untuk melihat sekilas ke belakang, sebagai kaca perbaikan diri agar menjadi insan yang lebih baik lagi. Sebulan sudah Vina mengikuti Bimbel perguruan tinggi, jalannya serasa di mudahkan, ia hanya memikirkan makan dan hidupnya di kota, untuk tempat tinggal ia mendapat tumpangan dari kakak kelasnya dulu, yang juga sedang melanjutkan kuliah. Tinggal menunggu waktu yang fenomenal itu, ujian SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri) yang sebentar lagi akan datang, Vina dengan serius mempersiapkan dirinya agar dapat lolos dalam ujian itu. Ia menumpukan impiannya untuk kuliah hanya pada ujian itu, karena jika ia gagal ia harus memendam mimpinya untuk kuliah, itulah kesepakatannya dengan Amak dan Abak sebelum berangkat kekota sebulan yang lalu. Tiga hari kemudaian ujian itupun datang, Vina melaksanakan ujian dengan serius, ia fokus dan terus berharap ia lulus di salah satu jurusan yang ia pilih. Ujian itupun berakhir, waktu pengumuman hasil ujian sebukan lagi, Vina pun pulang membawa harapan pasti Allah akan mengabulkan pintanya untuk dapat kuliah tahun ini. Ia rhido dengan apa yang akan ditetapkan nanti untuknya.
            “Vina bagaimana Ujiannya kemaren, ada lancar” Cinta duduk disebelahnya ketika Vina sedang mengembalakan kerbau. “Haa...Cinta...aku kira kamu sedang di pingit....bukannya dua hari lagi kamu akan menikah...kenapa masih berkeliaran...entar di sambet orang lain lo” Celoteh Vina memanggut Cinta.tampak Cinta tak menghiraukan celoteh Vina ia, tampaknya ia lebih tertarik mendengar cerita Vina ketika sebulan di kota.
“Alhamdulillah Ta, berkat doa kamu juga” Ujar Vina tersenyum.
“Trus kamu ketemu cowok-cowok ganteng nggak disana, katanya anak kampus tuch lebih modis, dan terkesan intelek kata orang” tanya Cinta bersemangat.
“Wuss....udah mau jadi istri orang, masih aja mikirin cowok ganteng....Gimana sich kamu Ta?” Gerutu Vina memonyongkan bibirnya. “Ya....tak apalah selagi belum ne” tanggap Cinta centil. Vina menceritakan pengalamannya di kota pada Cinta, Cinta menggangguk – angguk paham, walaupun diluar Cinta tampak riang, namun dalam hati ia sangat kecewa dengan nasipnya, betapa ia juga ingin kuliah, berstatus mahasiswa, namun semua itu hanya akan ia pendam, hanya sedikit peluangnya untuk bisa kuliah, ia berharap suaminya nanti benar-benar menepati janji. Ada rasa iri pada Vina, karena Vina telah melewati proses menuju itu, namun ia sadar, ia bukan Vina, Vina juga bukan Cinta, setiap jiwa telah punya goresan takdir masing-masing. Cinta hanya harus bersabar dalam menghadapi ini semua.
            “Hey..Hello...” Vina mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Cinta.
            “Kamu melamun ya....ayo lagi lamunin siapa?” canda Vina.
“Hm...Nggak...Na, aku Cuma membayangkan kalau aku jadi mahasiswa, kayak apa tu ya...?” Ungkap Cinta membuat Vina simpatik.
“Kamu pasti bisa kuliah Ta, bukankah suami kamu janji akan kuliahkan kamu kalau sudah menikah, semoga saja dia tidak bohong” Ujar Vina menghibur.
“Semoga saja Na...tapi entahlah,..aku tidak sekuat kamu...” Desah Cinta merendah.
            Tibalah saat pernikahan Cinta, seharian Vina menemani Cinta, Vina sudah melihat calon suami Cinta, lumayan cakep, sepadanlah dengan Cinta yang ayu, umur mereka terpaut delapan tahun, jauh memang, tapi itu hal yang biasa terjadi dikampung itu, yang muda emang lebih laku, sehingga para wanita yang telah berkepala dua saja, sudah sulit mendapatkan jodoh, apalagi yang sudah masuk kepala tiga, bahkan terancam jadi perawan tua seumur hidup. Tradisi ini pula yang menjadi ancaman bagi ibu-ibu yang punya anak gadis agar cepat menikahkan anak gadisnya, kalau tidak ingin jadi perawan tua, memang tradisi yang kulot. Kabar-kabarnya calon suami Cinta adalah seorang pengusaha di kota, bidang komputer.
            “Kamu terlihat cantik Cinta” Ucap Vina merapikan baju pengantin Cinta, Cinta memakai kebaya dan make up yang menutupi wajah polosnya, ia seperti penari-penari jaipong yang menor. Seperti itulah kualitas cantik menurut para ibu-ibu di kampung itu, dengan bermake up setebal bantal, sampai-sampai jerawat yang segede bisul , bisa tampak buram dan cendrung tak nampak lagi. “Aku gugup Na” Kata Cinta menghapus keringatnya dengan tissu. “Kamu pasti bisa, kamu harus bertahan dengan pilihan kamu ini, jadilah istri yang baik Ta” nasehat Vina. Akad Nikah Cinta dan calon suaminya akan dilaksanakan di sebuah surau di kampung itu. Cinta tak merayakan pernikahannya, karena katanya suami Cinta harus kembali ke kota dalam minggu ini. Apakah ini akhir dari mimpi Cinta, menjadi seorang isteri dalam usia yang begitu belia, menyimpan mimpinya dalam relung hati yang makin buram ini, seperti air yang mengalir, ia biarkan waktu mengatur kehidupannya, dan ia pasrah menanggung apa yag akan diterimanya, atas pilihannya ini.
Vina memandang lautan luas yang ada didepannya, saat ini ia sedang berada di kapal untuk menapaki pulau jawa, Vina di terima di Istitude Teknologi Bandung  jurusan Biologi, sebuah kabar yang tak disangkanya adalah ia lolos beasiswa dari kota Padang, semua biaya kuliah dan kehidupannya di ITB akan di biayai, bahkan ia kuliah di ongkosi. Vina mensyukuri nikmat Allah yang begitu besar padanya. Mulai hari ini, ia akan merajut mimpi-mimpinya agar mengukir namanya dalam sejarah, ia berjanji akan membangun kampungnya setelah tamat nanti, ia ingin mengubah paradigma orang-orang di kampungnya, bahwa pendidikan itu amat penting. Momok pendidikan yang di kira mahal, hanyalah desas-desus yang beredar tampa dipahami, keyakinan akan pertolongan Allah adalah kunci utamanya. Setiap manusia punya keunikan dan karakter, aku tidak sama dengan kamu, dan kamu bukanlah aku, itu memanglah benar. Bekal keunikan dan perbedaan karakter itu hendaklah menjadi pemacu bagi kita untuk mengembangkan potensi yang kita miliki, sehingga tercipta generasi-generasi yang potensial dengan keahlian yang berbeda.  Dunia ini butuh orang-orang yang berbeda namun terorganisir dalam satu tujuan, bukan orang-orang kebanyakan yang tidak punya keunikan. Ingatlah bahwa hanya ada satu “Anda”, tidak ada  orang yang sama.



Oleh : Vivel Kayyisah
Padang, 14 januari 2011




Tangis Itu Tak Akan lagi  Ada




            13.31, layar HP milikku  bercahaya dan mengeluarkan nada alarm, tadi pagi aku sengaja menyetel alarm pada jam 13.31, dengan pengingat GO HOME TOWN. Hari ini aku akan pulang kampung, bagaimanapun kendalanya, kebiasaanku adalah membuat pengingat-pengingat yang harusnya membuat aku jadi orang yang berkomitmen, namun kebiasaan itu hanya sekedar aksi pasif yang tinggal di kertas-kerttas, dan memo-memo yang hanya jadi penghias barang-barang pribadiku, seringkali aku tidak menepatinya, aku selalu punya seribu alasan agar dapat menundanya, kadang pikiran bodohku beraksi, bagaimana jikalau aku saja yang menjadi pengatur waktu...hm...pikiran yang picik.
            Bukti selanjutnya adalah hari ini, jam sudah menunnjukkan 13.56, sudah hampir satu jam aku melenceng dari rencana awalku. Teman yang akan menggantikan kerjaanku hari ini belum juga datang, padahal kami kemaren sudah sepakat kalau dia akan menggantikan aku jam 13.00, tapi sampai sekarang belum juga kulihat sosoknya. Kesal, jengkel dan marah bercampur layaknya es teler, ku coba mengirimkan sms, alhasil sepuluh sms terkirim tapi tak ada balasan, ingin menelpon pulsa tidak ada, ”Uwaaahhhhh........... nyebelin”.
            Aku sendirian saja duduk di meja resepsionist, kakak yang biasa  jadi resepsionist sedang sakit, jadi tinggallah aku dalam kesendirian yang memendam kekesalan yang makin menumpuk, tampa ada penampung atau penyaring yang bisa membuatku bisa berbagi agar kepala ini tidak seberat ini. Ku ambil HVS, hobi karakaturistku muncul, dengan isengnya aku melukis wajah temanku yang membuat aku kesal, dengan kumis yang lebat, rambut gimbal, plus kaca mata bajak laut. ”He...He....” Aku cekikikan sendiri melihat ulah jahilku, ku tak bayangkan bagaimana jika siempunya wajah melihatnya. Satu setengah jam sudah dari perencanaan, murid-murid belum datang, jadi aku masih harus berkutat disini dalam kesendirian dan kekesalan yang semakin memuncak, sudah lima HVS habis berisi wajah - wajah aneh, dengan kalimat-kalimat kekesalan yang tertulis secara spontan. Ku alihkan ke buku motivasi yang sering ku bawa, namun kepalaku malah bertambah berat, untuk membuat karikatur lagi, inspirasiku sudah hilang, wajah kampung makin menambah kerinduanku, perasaanku campur-aduk, wajah ibuk tersenyum kepadaku, sudah berapa kali ibuk menanyakan kapan aku akan pulang?, namun aku selalu menanggapi kerinduan ibuk dengan alasan-alasan kesibukan yang seharusnya tidak menjadi alasan yang kuat, sebenarnya bisa saja aku pulang kampung, toh dua minggu ini, aku sedang liburan semester. Namun aku belum memberitahu ibu, kalau sekarang aku sudah bekerja di salah satu tempat bimbingan belajar di Kota Padang. Part Time, aku jadi salah satu tenaga pengajar disana, jika tidak ada kuliah aku langsung ke tempat LES itu, untuk mencukupkan kewajibanku setiap harinya. Sekitar jam 20.00 Wib aku baru bisa pulang ke kost, setiba dikost langsung mandi, makan dan mengerjalkan tugas-tugas kuliah yang tidak ringan, tak jarang aku dalam satu hari hanya bisa tidur barang empat atau lima jam, tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. SEMANGAT......SEMANGAT.....SEMANGAT.......aku harus semangat jika ingin berhasil.
            Halang rintang laksana bingkai yang harus selalu ada dalam figura kehidupan, salah satu alasanku tidak memberitahukan pekerjaan ku pada Ibuk, karena aku  sudah mengira ibuk tidak akan mengizinkan, karena Ibuk tidak mau ada pekerjaan selain kuliah yang akan menggangu kuliahku, Ibuk ingin melihat aku cepat tamat dengan nilai yang Cum Laude. Aku tau makhsud ibu baik, tapi aku tidak tega ibu membanting tulang seperti sekarang ini untukku, Ayahku tak bisa bekerja lagi, kecelakan yang menimpanya setahun lalu, membuat pergelangan kakinya patah, sekarang Bapak hanya bantu-bantu ibu ke ladang. Ibuklah yang sekarang menggantikan tanggung jawab Bapak.
            ”Assalamualaikum Teacher” Sebuah sapaan lembut membuat pikiranku pecah, kulihat sosok gadis dewasa berkaca mata, dengan baju muslimah birunya tersenyum merayu padaku, kubalas senyumnya dengan senyum berat. ”Waalaikumussalam” Jawabku tanpa menoleh.
”Aduh...Teacher Nila kalau sedang sebel, kok manis banget ya....” Gadis itu pintar juga   ngegombal.
” Ga’ Mempan....” Bathinku pasang tampang jutek.
”Aduh....Bibirnya bagus banget, baru beli oriflame baru ya Jeng???” Rayuannya makin    konyol.
” Dian...Plizz dech, kamu udah telat berapa jam SAYANG” Gerutuku menekan kata sayang.
” Iya...La, tadi aku kecapean banget habis naik bus dari kampung ke sini, jadi ketiduran La” Rajuknya dengan wajahnya yang sudah merajuk. Aku ingin marah, tapi ku tak bisa memarahinya, wajah polos Dian seakan telah menyiram api kemarahanku sampai tuntas, ku diam saja mendengarkan penjelasannya. Aku juga tidak mau marah-marah toh aku juga akan pulang kampung, ku tak mau hanya karena marah dengan masalah sesepele ini, Allah menegurku di perjalanan nanti.
” Ya sudah, sekarang aku PULKAM ya....hati-hati, Kak Devi sakit, Santi juga nggak masuk hari ini, jadi Dian akan sendirian membimbing murid-murid yang datang nanti, SEMANGAT” Ujarku pamit, Dianpun mengantarku sampai ke angkot.
”Nila....mukanya jangan jutek lagi dong.....?kamu belum ikhlas ya.....,  maafkan aku???” Kata Dian manja.
” Hmm......Trus Dian mau Nila senyum seperti apa, Luna maya, Marsyanda, Prety Zinta....PILIH yang mana???” Sambutku konyol, sambil memperagakan berbagai macam senyum versi Nila. Dian cekikikan.
Dari jauh angkot jurusan Pasar Baru, menuju kerarahku, ”Mohon ma’af lahir batin  Dian...Mohon doanya” Lanjutku sembari memeluk hangat Dian dengan perasaan yang agak sedih, seperti akan pergi jauh saja rasanya. Angkot berhenti tepat didepan kami, Aku naik meninggalkan Dian, ada rasa berat ketika harus pergi.
Aku harus keloket dulu untuk membeli karcis, dan sekarang aku sudah diatas bus di bangku urutan ke tujuh belas. Sembari menunggu bus berjalan aku iseng-iseng mengeluarkan Scrable Mini, dan beraksi dengannya.
Tiba-tiba seorang pria berwajah keriput masuk, kulihat dia celigak-celiguk menyusuri nomor-nomor kursi yang dibuat diatas atap bus tersebut, pandangannya berhenti kearahku, ia tersenyum, kulihat giginya masih utuh dan putih, jarang-jarang orangg-orang seumurannya masih punya gigi yang utuh, aku membalas senyumnya.
” Cu...bisa carikan tempat duduk kakek” Ujarnya memberikan kertas karcisnya  padaku. No 17, aku kembali tersenyum,
” Kakek dapat no karcis di sebelah saya ni Kek” Ujarku.           
” Oooo...” Senyumnya ramah, kakek itupun duduk disebelahku. Tak lama    kemudian Bus pun penuh, wajah kampung semakin jelas.....”Ibuk.....NILA PULANG!!!!!”.
            Ku nikmati pemandangan alam menuju kampungku, masih sangat hijau dengan jurang-jurang terjal yang membuatku sedikit ngeri, tapi untunglah ibuk selalu mengajarkanku kalau mau naik kendaraan harus baca doa. Banyak cerita-cerita baru yang kudapat dari kakek yang duduk disebelahku, kakek Abdillah namanya, kakek Abdillah baru pulang dari rumah anaknya yang di Padang, kata kakek tadinya ia mau diantar saja oleh anaknya, tapi Kakek ingin naik Bus, sudah lama kakek tidak naik Bus, Kakek Abdillah punya 7 orang anak dan dua puluh orang cucu. Nenek sudah lama sekali meninggal karena penyakit diabetes, jadi untuk menghilangkan kesepiannya kakek sering berkunjung kerumah anak-anaknya yang tersebar di berbagai daerah.
                        ” Cu....mengapa di Padang?” Tanya Kakek Abdillah.
                        ” Kuliah Kek....” Jawabku santun.
                        ” Dimana Cu.....?” Lanjut Kakek.
” Di Universitas Andalas, jurusan Biologi Kek” Kulihat Kakek Abdillah menggangguk-angguk, sambil mengelus-ngelus dagunya yang  telah keriput.
” Cucu kakek juga ada yang tamatan di situ, Biologi juga, sekarang Dia sudah bekerja di PERTAMINA Jakarta, Namanya Fajar, mungkin Cu kenal” Jelas Kakek dengan nada bertanya.
” Hmmm....saya baru tahun tiga Kek, mungkin Bang Fajar sudah tamat saat saya masuk kuliah, jadi mungkin tidak bertemu” Jelasku singkat.
” Mungkin......!.Fajar belum menikah, katanya gadis Jakarta terlalu banyak, jadi malas memilih, dia mau punya istri orang kampung, ”Gadih Minang” katanya” Ujar kakek tertawa kepadaku, aku tersenyum bingung,
”Fajar adalah cucu paling dekat dengan Kakek, Ibunya berhasil membesarkannya, ia anak penurut, waktu kuliah Fajar sering curhat sama Kakek, ia sering kehutan dan bermalam” Cerita Kakek berlanjut, aku berusaha menjadi pendengar terbaik, sesekali aku terlonjak karena bus melewati jalan yang berbatu.
” Besok kalau Cu kehutan, lalu tidak tahu arah kiblat, nah, Cu perhatikan tumbuhan yang melilit di tumbuhan lain, perhatikan arah ujung pangkalnya dan perhatikan arah ujungnya, Nah kemana arahnya, dua puluh tiga derajat lintang barat itulah arah kiblat. Namun jika di dekat sungai atau sejenisnya, maka dua puluh tiga derajat arah hulu sungai itulah arah kiblat.” Kata Kakek dengan wajah yang serius, ada sedikit ketidakpercayaan atas argument itu, tapi aku pikir-pikir ada benarnya juga, berdasarkan fenomena alam yang terjadi.
” Ha...yang benar Kek? Dari mana kakek tau?” Tanyaku meyakinkan.
” Cu......Cu........tanggapan Cucu ini, persis dengan Fajar, ketika pertama kali kakek beritahu” Tanggap kakek menggeleng-geleng.
” Alam takambang jadi guru, tau ndak Cu apa itu?” Tanya Kakek dengan suara bijaknya.
” Tau...Kek” Jawabku ragu-ragu.
” Tau atau sekedar Tau???” Sergah kakek Abdillah membuat wajahku merah, keilmuanku sebagai orang minang asli terasa disepelekan.
” Ha..Ha...ha....Persis...Persis....tidak ada bedanya....Kau sama sekali dengan Fajar Cu...., Dia juga kebingungan ketika aku menanyakan ini padanya...ha..ha...” tawa Kakek membuatku sebel.
” Itulah anak sekarang, pelajaran yang didapat dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, hanya sebatas teori, bagaimana Indonesia bisa maju, kalau pemudanya cuma punya teori-teori saja tanpa ada aplikasi yang nyata, percuma saja., sekarang kalau ingin sukses tanpa sekolahpun bisa, yang penting ada  jiwa menciptakan hal baru, kreatif, dan aplikatif, bukan teori-teori yang hanya akan menanbah sampah di otak yang diciptakan tuhan untuk berfikir bukan menghafal....tidakkah begitu Cu..?” lanjut Kakek,
Semua ucapan Kakek memang benar, aku merasa malu menjadi pemuda zaman  sekarang, aku hanya bisa minta sama Ibuk, tanpa bisa mencoba untuk mencari sendiri, dan rencananya aku akan meminta ibuk untuk membelikan aku laptop, karena untuk kuliah aku sangat membutuhkan itu, aku hanya bisa meminta tampa mau mencari sendiri, nasehat-nasehat kakek sedikit mengena di relung hatiku, tapi aku tidak tau bagaimana caranya, yang kutahu aku kuliah dan kuliah, masalah uang, perlengkapan hidup di rantau, kuserahkan pada orang tua dikampung.
” Ini kartu nama Kakek Cu...kalau ada waktu mampirlah....kalau jodoh pasti tidak akan kemana” Sambung Kakek memberikan kartu namanya padaku, ku masih agak aneh mendengar ucapan yang terakhir, apa makhsud kakek kalau jodoh, aku tidak berani bertanya.
” Dan siapa tahu Cu...juga butuh ini, kalau suatu hari nanti ke Jakarta” Kakek Abdillah memberikan satu Name Card lagi padaku, Fajar Putra Setiawan. Aku tambah bingung, ku ingin menolak, tapi ” KIRI....” Teriak kakek menghentikan Bus, ” Kakek tunggu kedatangannya Cu...” Ujar Kakek Abdillah untuk terakhir kalinya dalam pertemuan pertamaku ini.
            Peristiwa yang kualami hari ini, seperti telah terkonsep dalam skenario Sang Sutradara dunia, tak ada mimpi ataupun tanda-tanda yang mengisyaratkan aku akan bertemu dengan kakek Abdillah hari ini, keterlambatan Dian, jam 13.31 wib, semuanya seakan terjadi begitu cepat, mengukir cerita hidupku hari ini, dengan lakon-lakon pendamping yang telah terseleksi. Rencana allah akan indah ketika waktunya, dan aku akan sabar menunggu waktu yang dijanjikan Allah itu....Hm...Ingatanku akan punya Labtop kembali berkelabat.
            Sekitar pukul 17.50 pm, bus yang kutumpangi berhenti didaerah tempat tinggalku, untuk menuju ke rumahku, aku harus naik ojek dulu, akupun menyater ojek yang kukenal, hanya butuh sepuluh menit, kakiku sekarang sudah didepan pagar kayu yang mengelilingi  rumah kayu yang dibangun Bapak dan Ibuk untuk kami, rumah itu sudah berumur dua puluh empat tahun, namun kayu-kayu tiang rumah itu masih tampak kuat, dulu bapak dan ibuk  sendiri yang mencari kayu-kayu itu kehutan sebelum aku lahir, rumah itu juga Bapak dan Ibuk yang membuat, karena kemiskinan membuat ibuk dan bapak harus bekerja siang malam, sampai sekarang, kutau penderitaan ibuk dan bapak belum berakhir, dan aku ingin mengakhirinya,Amin.
            Ku buka pintu dengan kunci duplikat yang sengaja diberikan ibuk untukku, sebagai antisipasi jika aku pulang, tapi orang tidak dirumah, padahal aku tidak berfikir sejauh itu, tapi ibuk memikirkannya, ibuk tidak ingin aku kebingungan, atau kepanasan apalagi kehujanan bila kondisi tidak sesuai dengan yang diinginkan, kalau aku punya kunci aku bisa langsung istirahat., ku yakin masih banyak yang difikirkan ibu agar anak-anaknya baik-baik saja, IBUK....aku ingin ketemu ibuk secepatnya.
            Rumahku kosong, ruang lepas yang berukuran 4x3 itu amat berantakan, kulihat baju-baju merah putih milik adik bungsuku berserakan tak ditempatnya, sepatu sudah berada ditengah saja, tasnya entah kemana, padahal kalau dibersihkan, ruang lepas itu akan kosong dengan lapiak pandan yang sudah usang, tidak ada barang-barang yang berharga, karena ibuk belum sanggup membeli, untuk biaya hidup saja orangtuaku sudah kepayahan, kata ibuk, Ibuk hanya akan menyekolahkan kami tinggi, Ibuk tidak mau memberikan harta, karena hanya akan membuat Ibuk dan Bapak kesulitan nantinyan jika meninggal, kalau Ilmu akan dapat menghasilkan harta, tapi harta tidak dapat menghasilkan ilmu, Ilmu selalu terjaga, tapi harta susah menjaga, Ibuk selalu berpesan jika nanti kami berhasil kami akan bisa membeli apa saja yang kami mau.
            Kalau rumah kosong begini, kuyakin Ibuk dan bapak sedang ke ladang, saat ini Ibuklah yang menjadi tulang punggung keluarga, Ayah sudah tidak bisa bekerja lagi, kecelakaan yang menimpanya setahun yang lalu membuat kakinya patah, Aku masih bersyukur Bapak masih bisa berjalan, namun untuk bekerja berat Bapak sudah tidak kuat lagi, makanya bapak cuma bantu-bantu ibuk ke ladang memetik sayur, memanen coklat atau menakik getah diladang yang jaraknya jauh dari rumahku, tidak hanya jauh, tapi jalannannya juga mendaki dan menurun, curam dan terjal, aku saja tidak di izinkan ibuk kesana, kalau melihat parasaaian hidup ibuk dari kecil sampai sekarang aku tak bisa menahan air mata, dilahirkan sebagai anak bungsu yang diperlakukan layaknya anak tiri, aku pernah mengimpikan jika aku menjadi penulis nanti aku akan hadiahkan sebuah novel tentang ibuk kepada ibuk, jika Allah masih beri kesempatan aku untuk membahagiakan Bapak dan Ibuk.
            Semuanya sudah beres, dari membersihkan rumah, sampai  memasak, hanya butuh satu jam bagiku untuk membereskannya, hobiku yang suka membersihkan rumah membuatku cekatan dan cepat dalam menyelesaikan sesuatu, selain hobby, kurasa ini juga turun dari sifat ibuk yang cekatan.
            Ibuk dan bapak belum juga pulang, peluh bercucuran setelah selesai masak, badanku tersa lengket oleh peluh, api kayu bakar membakar kulitku, tanganku panas-panas karena menggiling cabe, ku hempaskan tubuhku kekasur yag sudah tipis, kudengar suara azan memanggil, kunikmati setiap lafadz azan itu, mataku tiba-tiba terasa berat dan matakupun terpejam. Ku buka mataku, sebuah pemandangn yang berbeda terhampar didepanku, aku seakan-akan berada didalam stadion besar tanpa kursi, tepat didepanku tegak layar putih yang berukuran super besar, tiba-tiba datang sebuah cahaya dari arah belakang, layar itu memantulkan gambar-gambar bergerak ke retina mataku. Awalnya aku masih diliputi kebingungan, karena yang kulihat hanyalah seorang anak kecil yang tidur dengan tubuh yang dilingkari selang, selang infus, didalam sebuah kotak kaca berukuran 30 cm x 50 cm. Tubuh merah itu terlihat susah bernapasan, lalu rekaman-rekaman itu seakan dipercepat.....kusadar itu adalah rekaman kehidupanku, aku sering sakit-sakitan ketika kecil, tak jarang ibuk menagis karena aku masih menangis walaupun malam sudah larut, Ibuk tak tidur karena aku masih menangis. Hatiku begitu tersentuh, betapa besar pengorbanan Ibuk untukku, air mataku tak bisa lagi kutahan...melihat penderitaan Ibuk yang  terlihat jelas di rekaman yang datang entah dari mana itu.
            Mataku kabur karena air mata yang sudah menggenangi pelupuk mataku, sebuah rekaman yang kejadiannya baru-baru ini, kulihat indeks waktunya kira-kira seminggu yang lalu, tepat ketika aku meminta uang SPP pada Ibuk, padahal aku masih punya uang beasiswa, karena aku ingin membeli Laptop, makanya uang SPP masih aku minta pada Ibuk, sehingga aku bisa menyimpan uang beasiswaku. Dan aku merasa senang saat Ibuk mendukung keinginanku. Dalam rekaman itu, kulihat Ibuk berjalan memasuki sebuah rumah dengan langkah bergegas, telingaku mendengar jelas setiap percakapan itu.
            ” Assalamualaikum ” Kulihat dalam rekaman itu dengan sangat jelas, Ibuku mengetuk pintu, seorang wanita gemuk yang masih sangat ku kenal keluar, wanita itu masih saudara dekat Ibuk. Wajah wanita itu tampak tak bersahabat, wajahnya masam, ia mengamati Ibuk dari ujung kaki sampai ujung rambut, baju kumal, celana sebetis yang lusuh , TANPA SANDAL, kulihat wanita itu tersenyum sinis....
            ” Ada apa Jur ” Tanya wanita itu berat, sambil duduk dikursi yang ada diteras itu tanpa mempersilahkan Ibuk, kulihat Ibuk beringgsut ke depan dengan wajah belas kasihan. Wajah angkuh wanita itu seakan mau memakan tubuh kurus milik ibuku, tak sedikitpun kupenjamkan mata, kuamati setiap sudut rekaman itu, walau ketika menagkap wajah Ibuk, hatiku bergetar dan tangisku tumpah.
            ” Begini Uni, awak kasiko, rencananya ka maminjam pitih, agak lima ratus ribu, uang semester si Nila alah tibo pulo, jadi masih kurang lima ratus ribu lagi, jadi ka Unilah awak raso bisa maminjan, Insya Allah agak saminggu ko awak manangguh” Ucap ibuku dengan suara penuh harap, mimik wajah wanita itu berubah, ia menyunggingkan senyum sinis,
            ” Itulah......Jur, Uni katakan kemaren, kalau ndak ado pitih untuk menyekolahkan anak, ndak usah di paksakan, Toh kok gadang besok belum tentu dia akan berbalas jasa, lah banyak jadi contoh, maling kundang sajo dari nagari minang ko khan???” walau lembut, namun bahasanya seakan menampar wajahku, betapa lukanya hati ibuk sekarang, ingin aku memeluk Ibuk, dan bilang ” Tidak usah meminjam Buk, Nila masih punya uang untuk membayar SPP”, namun aku tak bisa berbuat apa-apa, karena ibu ada dalam rekaman. Aku menyesal meminta uang kepada Ibuk, jika aku pakai saja uang beasiswa itu, Ibuk tidak akan menerima perlakuan seperti ini, Ibuk tidak akan seperti ini....”IBUK........maafkan Nila”.” Iya..Uni, tapi uang julo-julo sebulan lagi menerima, jadi pitih Uni akan dikembalikan sebulan lagi, saya janji Uni” Ibuk masih berusaha meminjam, kulihat wajah tua itu makin memelas, tak sanggup rasanya aku menatapnya, wajah ibuk memerah dan suaranya makin berat, ku tahu Ibuk menahan tangis, ia masih berusaha tegar walaupun hati sudah tercabik-cabik menggoreskan luka yang entah kapan bisa hilang, tapi Ibuk menahannya demi Aku, Ibuk melakukan apa saja agar anaknya bahagia, walaupun Ibuk harus mengorbankan dirinya, saat ini aku hanya ingin cepat-cepat memeluk Ibuk.....ku tak kuat melihat rekaman menyedihkan itu, namun mataku tak bisa lepas dari rekaman itu, seperti ada yang mengatur.” Maaf Jur. Uni kini sedang butuh pitih pulo, kemaren Rio anak Uni meminta pitih pulo, Jur bisa melihat sendiri rumah sedang dibangun pulo kan, jadi ...” Wanita itu menolak dengan alasan yang dibuat-buat, namun ku juga tak berhak menyalahkannya, itu haknya untuk menolak karena dia yang berpunya. Namun aku amat sedih kenapa Ibuk harus mengalami kejadian ini.....Ujian apalagi Yaa...Rabb...??? Bolehkah aku marah padaMu.....kenapa Engkau uji Ibuk dengan kejadian memalukan itu???
            Ibuk pamit, dan melangkah gontai keluar gerbang rumah besar itu, wajah sabarnya semakin lusuh, ada kebingungan dan kesedihan tersirat dari wajahnya, kulihat setetes air yang ditahannya dari tadi menetes membasahi pipi yang seharusnya belum waktunya keriput, namum karena kerasnya hidup wajah itu kelihatan tua sebelum waktunya, cuaca amat terik, aspal membakar kulit kaki Ibuk yang tak bersendal......Ibuk mempercepat jalannya, sesekali ia memijakkan kakinya ke plastik atau sampah-sampah yang bertebaran di jalan, sekedar mengurangi panas yang membakar kulit kakinya. Ibuk harus berjalan jauh untuk sampai ke rumah, sebenarnya ada ojek jika Ibuk ingin naik ojek, tapi kuyakin Ibuk tidak membawa uang, makanya Ibuk harus berjalan jauh tanpa sendal menyusuri aspal di cuaca amat terik itu. Kuhanya bisa menangis dan melihat Ibuk, Ya Rabb....kenapa sebegitu berat ujian yang kau berikan pada Ibuk, jika diperkenankan biar aku yang menggantikan Ibuk sekarang......” Nafasku sesak menahan tangis, mataku pedih, tak sedikitpun kulepas pandanganku dari sosok ibuk yang sedang berlakon dalam layar itu, kutelusuri kemana Ibuk pergi.
            ” Auchh...” Ibu mengadu, ” Ibuuuuuuuk....”Aku terpekik, sepotong kaca melukai kaki Ibuk, terpincang-pincang ibuk berteduh, dengan hati-hati Ibuk berusaha mencopot kaca Itu, Ibuuk merintih kesakitan, ” Ibukkk.....Ibukkkk......Ibukkkkkk” Tangisku meledak, aku meratap, marah, kecewa, sedih bercampur aduk......IBUUUUUK ratapku menyayat.....
            ”Ibuuuk.........” Ratapku, ku ingin memeluk Ibuk, ku ingin menghapus air matanya dan tidak akan biarkan air matanya menetes dalam kesedihan lagi. Aku terjaga, kulihat Ibuk menyelimutiku.....kupeluk Ibuk...dengan erat ” Maafkan Nila Buk” Isakku, kupeluk erat tubuh kurus itu, dan tidak ingin kulepaskan barang sejenakpu, Ibuk membelaiku, sudah lama tak ku rasakan belaian itu, aku hanya bermimpi, namun itu bukan sekedar mimpi bagiku, benar atau tidak kejadian-kejadian yang diperlihatkan itu, aku tidak akan bertanya pada Ibuk, cukuplah peristiwa itu jadi kenagan indah yang di berikan Allah pada Ibuk, ku tak ingin menambah luka hati Ibuk, aku tak ingin  membuat ibuk sedih lagi, sudah cukup bagiku melihat Ibuk dirundung duka, namun ku tak tahu rencana Allah bagaimana, ku hanya bisa berdoa agar Ibuk selalu bahagia dan amat berharap Allah beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibuk sebelum waktunya.
            Ku akan mengubur Impianku untuk bisa membeli laptop, aku tidak akan mengulangi keegoisanku  yang telah membuat Ibuk terluka dan susah, Allah akan memberikan apa yang dibutuhkan hambanya, aku akan menikmati hidup ini dengan apa yang kumiliki, menghargai apa yang kumiliki dan meringankan beban Ibuk dan Bapak. Tanpa laptop aku masih bisa hidup, aku masih bisa menulis cerpen-cerpen dan novel-novelku, Allah pasti punya rencana yang indah untukku, dengan mengirimkan teman-teman yang sangat mendukung hobbyku, menjadi penyemangat dalam keputusasaanku, aku sudah sangat bersyukur, aku yakin rencana Allah akan indah ketika waktunya, aku akan bersabar menunggunya, dan saat ini aku akan jaga ibuk, adik-adik dan Bapak, Aku pasti bisa membahagiakan Ibuk sebelum waktunya Ibuk pergi. Ibuk aku janji air mata itu tidak akan ada lagi.  
Vivel_kayyisah Desember 2011



Meleset



Pagi yang mengesankan, kurasakan kebebasan dari tugas-tugas kuliah yang biasanya menghantuiku setiap pagi. Hari ini sungguh berbeda, aku bisa agak santai dan tidak terburu-buru. Kuliah nanti siang membuatku bisa berleha-leha tanpa dibebani fikiran-fikiran akan tugas-tugas ataupun beban hafalan yang akan diujikan dalam tes-tes mendadak. Jam baru menunjukkan pukul 05.30 wib, ku baru saja menunaikan shalat subuh di mesjid, dan iseng temanku mengajak untuk jalan-jalan pagi, tanpa fikir panjang aku mengiyakan.
            Kami menelusuri jalan setapak diperkampungan, dikiri kanan terhampar sawah-sawah yang masih hijau, dari dulu aku sangat senang dengan suasana pedesaan, aku ingin sekali berjalan diatas pematang sawah bertanah lunak itu, dan menikmati aroma tanah dan rumput berembun yang laksana aroma terapi. Namun hasrat itu harus kutangguhkan dulu, hujan deras kemarin malam, pasti membuat pematang itu becek, dengan kondisi yang masih memakai mukena, tidak mungkin aku dan Fasha menelusurinya. Kami hanya menelusuri jalan yang sudah disemen itu, disepanjang jalan tak hentinya aku memperhatikan aktivitas masyarakat, ada yang sudah rapi dengan kemeja dan celana kainnya, ada yang sudah siap dengan cangkul dan bungkus makan siangnya, sungguh menyenangkan bisa bertegur sapa dengan masyarakat. Menebar senyum dipagi hari, membuatku bersemangat untuk mengarungi ujian-ujian hari ini. Diujung jalan kumelihat sosok yang kukenal, sosok itu semakin dekat, perawakan sedang dan agak berbodi membuatku takkan salah terka, Muhammad Al ikhsan, teman seangkatanku namun berbeda jurusan denganku. Seperti biasa setiap berpapasan dengan akhwat dia selalu menunduk, sesekali aku pernah berfikir jahil, ingin rasanya aku menghampirinya kalau dia sedang berjalan, dan aku ingin lihat ekspresinya, khayalan nakalku bermain, kubayangkan dia mengambil jalur lain, dan terjebak, dan aku bisa menertawainya he...he... atau dia terus menunduk, dan tiba-tiba ada tiang listrik ”Duukkk” kepalanya keceduk dan akupun tertawa he...he....fikiran tak logis seringkali mengusikku ketika berpapasan, bertemu dan bila melihat wajahnya.
            Entah kenapa, aku tidak suka dengan wajahnya, dingin, kaku, tanpa senyum, dan bila aku tiba-tiba melihat senyumnya, itu terlihat tak manis, walaupun kuakui dia masuk kategori laki-laki cakep.
” Sha....liat tuh sapa yang di depan” Bisikku pada Fasha
” Yups...gue tau, Si mata lurus khan?” Celetuknya, aku tersenyum mendengar statement Fasha tentang Ishan, ” Si Mata Lurus”.
Langkahnya makin dekat, kulangsung berpose pura-pura tidak melihat, sedikitpun aku tak berani menatapnya, entah kenapa, mungkin karena gelar ”Akhwat” yang baru kusandang beberapa bulan ini, membuatku mengerti menjaga Izzah sebagai seorang akhwat. Tapi kurasakan beda sekali, aku seperti ikut-ikutan dingin dibuatnya, aku termasuk akhwat yang sangat ramah, suka ceplas-ceplos dan jika tidak suka aku akan bicara langsung, tanpa embel-embel tausiah-tausiah dari alquran ataupun hadist yang biasanya dilakukan ikhwan dan akhwat biasanya.
            Dia berlalu, kami berselisih jalan tanpa saling menyapa, suara hatiku kadang berteriak kenapa aku terlihat sombong pada saudara sendiri, apakah susah mengeluarkan suara sekedar salam, jika tak sanggup ucapkan ”Say- Hello”. Entahlah, dia sendiri yang membuatku seperti ini, sikap dinginnya yang membuatku jadi tertular. Masih kuingat masa-masa SMP dulu, kebetulan aku pernah satu SMP dengannya, ia tidak seperti sekarang, ia tergolong anak yang supel dan mudah bergaul, berbeda sekali dengan dia yang sekarang, bahkan dulu justru aku yang tergolong anak pendiam, masih kuingat ia sering menggodaiku jika aku kalah tinggi nilai dengannya. Ikhsan termasuk anak yang cerdas di kelasku waktu SMP, aku dan dia selalu gantian menduduki peringkat satu, tapi lebih sering Dia yang memegang, Ikhsan jago matematika dan Fisika, sedangkan aku lemah di dua mata pelajaran itu, aku tipikal yang suka membaca dan memahami, kalau sudah dihadapkan ke rumus aku sering tersasar mau menggunakannya kemana. Dulu Ikhsan suka meledekku jika aku tiba-tiba bisa meraih nilai tinggi di dua mata pelajaran menakutkan itu. Kadang aku merindukan ulah-ulah Ikhsan yang dulu, walaupun aku sering dibuat malu oleh ocehannya, dari pada sekarang, merasakan penyiksaan hati secara halus, seperti tidak pernah mengenal, rasanya sungguh tidak menyenangkan.
            Apakah memang seperti inikah dunia ikhwan dan akhwat itu? terlihat tak peduli, namun seperti punya ikatan yang kuat dihati. Dunia yang baru beberapa bulan ini kujalani, kerennya ”dunia dakwah”, Dunia yang membuatku mengerti pentingnya menutup aurat, dunia yang membuatku merasa nyaman berada diantara orang-orang yang zuhud, dunia yang membuatku menikmati hidup karena landasan mengharap ridha Allah, dunia yang membuatku masih bingung dengan sikap yang ekslusif itu. Wallahua alam.
            Bunga-bunga bermekaran menambah aroma wangi ditaman kampus, tempat ini adalah tempat favoritku sambil menunggu jadwal kuliah, kursi panjang yang sengaja dibuat dibawah pohon Phylisium desipiens itu membuatku ingin berlama-lama disana. Tapi dipagi yang beranjak siang ini, ada yang aneh di tempat tongkronganku, sosok yang tak ku inginkan, terlihat serius membaca buku setebal bantal diatas meja panjang itu. Ku ingin melabraknya, namun hati nuraniku melarang, sehingga aku hanya bisa menyurutkan langkah, berbalik dan mencari tempat lain, tapi ujung-ujungnya selalu mushala, tempat yang paling tenang seantoro jurusan, apalagi sekitar jam segini.
            Mataku sudah cukup lelah berakomodasi dengan intensitas cahaya yang tidak pas dari yang seharusnya, kepalaku berdenyut-denyut, sedangkan laporan yang harus dikumpulkan hari ini belum juga selesai, untuk menghilangkan stres akupun beranjak dan mengambil wudhu, niatnya ingin shalat Duha, ketika akan ke toilet aku justru berpapasan dengan si Mata Lurus, seperti biasa, aku tersenyum dan dia melengong, Cuex. ”Siirrr” Serasa ditampar rasanya, malu dan kesal, ” Untung orang tegur....dasar nggak menghargai....menyebalkan kamu San” Gurutuku marah. Kuhentakkan langkah melepas kekesalanku, ”Kenapa La” Seseorang menyapaku, ternyata Miko tersenyum padaku, akupun balas tersenyum. Miko, teman seangkatanku juga, dan sama seperti Ikhsan berbeda jurusan denganku, Miko juga ikhwan, juga tarbiyah, tapi dia tidak sejaim dan sedingin Ikhsan, dia biasa dan kulihat tindakannya sewajarnya kok.
”Ta’limat, agenda dakwah sedang meminta penyelesaian, marilah kita merapatkan barisan untuk mempertanggung jawab kan amanah yang telah diamanahkan pada kita,untuk itu akan diadakan rapat presidium pada hari Jumat, 030309, jam 16.30 di Mesjid Assalam, agenda penjelasan proker, perencanaan Acara Besar organisasi, dll yang dirasa perlu” Sms ta’limat itu dikirim dari Ikhsan, Ku hanya menatap keheranan akan ta’limat itu, selain karena heran kenapa ikhsan mengirimiku pesan, tapi isi ta’limat yang sepertinya tidak tepat sasaran, amanahku bukan di wajihah itu.
”Afwan, apa antum tidak salah kirim?” Tanyaku membalas smsnya.
” Tidak, ana mengirimi sms ini pada semua kader yang akan terlibat dalam kepengurusan tahun ini” Jawabnya singkat.
” Iya...tapi ana tidak di KSI tapi di KOPMA?” Ulangku untuk memastikan.
”Ana tahu, sebagai kader dakwah tak sepantasnya kita membatasi gerak dakwah bukan?, selagi kita dibutuhkan disuatu ladang dakwah, jika kita sanggup kenapa kita tidak memetik hikmah dari setiap apa yang kita kerjakan, tidak sepantasnya seorang kader memilih-milih dan tidak peduli akan amanah orang lain yang butuh diselesaikan, ingat kita satu naungan, satu visi dan misi, jadi bergeraklah ikhwafillah” Sms itu seperti menamparku, apa makhsudnya dengan sms seperti itu, aku seperti disudutkan, dan disalahkan. Sms itu serasa mengguruiku. ” Dasar..... memangnya siapa dia, berani menasehatiku seperti itu, aku tahu pengetahuannya tentang agama begitu luas, gak sebanding dengan aku yang baru beberapa bulan ini berjilbab lebar. Fikiranku dipenuhi oleh gulungan kekesalan kepada Ikhsan, ini sudah puncak kekesalan untukku, karakterku yang tidak suka diperintah membuatku berfikir jelek tentangnya.
Semenjak itu, tak satupun smsnya yang kupenuhi, rasa kesalku seakan berubah menjadi rasa benci, sudah banyak akhwat yang menasehati, kalau tidak baik memupuk rasa benci yang berlebihan pada saudara sendiri, tapi memang aku Si otak batu, Aku belum bisa memaafkannya. Hari-hariku kupenuhi dengan jadwal kuliah, keperpustakaan dan jika sudah jenuh aku akan pulang dan tidur. Jadwal sore yang seharusnya aku isi dengan agenda rapat yang di smskannya padaku, tidak pernah kupenuhi, karena aku tidak mau bersua dengannya, apalagi mendengarkan ocehan-ocehannya yang seperti seorang orator saja.
” Hai....La, sendirian aja?” Fasha mengejutkanku.
” Eh....lu, ngapain tumben lu kesini, bisanya jam segini lu
   kan kekantin, makan lenggang” Gerutuku pura-pura
   kesal.
” Lo dah tau kabar terbaru Nggak” Tanya Fasha
   kemudian.
” Kabar apaan?” Jawabku singkat, tampa peduli banyak.
” Masa’ lo nggak tau sich, yang benar aja?” Fasha malah
  balik mengomeliku.
” Memang gue pernah bohong nggak sich, ama elu?”
   jawabku balas bertanya.
” Uminya si Ikhsan meninggal kemaren malam” ujar
   Fasha.
” Ha...” Aku terkejut, ada sedikit iba pada yang namanya Ikhsan, dan dalam hatiku berharap itu bukan Ikhsan saudaraku, walaupun aku membencinya aku tidak ingin
 kesusahan menimpanya.
” Ikhsan mana Sha? Tanyaku ingin memastikan.
” Iksan si mata lurus lah......” Ucapan Fasha terlontar begitu cepat, jantungku berguncang, rasa tak percaya berkelabat dalam kepalaku, dan lebih menyedihkan lagi, Ikhsan kecelakaan sewaktu akan ketempat jenazah Uminya, sekarang Ikhsan dirawat dirumah sakit, ia belum sadarkan diri”
Langit seakan menimpa kepalaku, aku tak bisa membayangkan cobaan yang sedang menimpa Ikhsan, aku merasa berdosa telah membencinya, perasaan bersalah menyesakkan dadaku, aku tak bisa menahan air mata lagi, aku terduduk, Fasha berusaha menegarkanku.” Sudahlah La, tidak baik menghakimi diri sendiri, ayoo....sekarang ikut aku, kita pergi kerumah sakit. Jenazah ibu Ikhsan telah dikebumikan, sedangkan Ikhsan masih belum sadarkan diri, banyak ikhwan yang saling bergantian menjaga Ikhsan, Akhwat hanya datang di siang hari. Disudut ruangan ku lihat Ayah Ikhsan duduk sendirian, aku pun menghampirinya.
”Assalamualaikum Pak?” Sapaku, kulihat Ayah Ikhsan hanya mengangguk, ku masih melihat kegetiran disenyumnya.
” Yang sabar ya Pak, semua ini milik Allah, dan akan kembali kepada Allah jua nantinya” Ucapku berusahmenghibur, setidaknya bisa meringankan bebannya.
” Kata Bang Ari sedari tadi bapak belum makan, tidak baik menzalimi diri sendiri Pak, ini tadi saya membawa makanan, Bapak makan ya....” Bujukku lembut.
Aku menyodorkan sebungkus nasi pada ayah Ikhsan, akhirnya bapak itu menerimanya, kulihat tangannya gemetaran membuka nasi bungkus itu, sambil makan, acapkali ia menelan ludah, air matanya tertahan, aku merasakan apa yang sedang dirasakan Bapak yang berusia setengah baya itu, sudah jatuh tertimpa tangga, aku tak bisa menahan tangisku, namun ku tak ingin Ayah Ikhsan tahu aku menangis, akupun pamit meninggalkan Ayah ikhsan yang masih larut dalam kesedihan. Ku lihat bang Ari menemani Ayah Ikhsan.
” Astaghfirullah aladzim.....” Desahku menahan air mata yang jatuh, duka Ikhsan menggoreskan sesayat luka juga di hatiku, aku ingin minta maaf pada Ikhsan, walaupun selama ini Ikhsan yang ada dalam fikiranku adalah Ikhsan yang menyebalkan, mengesalkan, dan selalu membenarkan ucapannya tampa azas demokrasi. Aku tidak ingin terjadi hal yang buruk pada saudaraku itu, ”Ya...rabb...berikanlah kekuatan pada Ikhsan dan ayahnya....aku sudah memaafkannya Ya Rabb...” Semakin ditahan, isakku justru makin sulit dikendalikan, akupun pergi....kutinggalkan mereka tanpa pamit, ku tak mau mereka melihatku dalam keadaan cengeng seperti ini.
Sebulan kemudian....
Ikhsan...cacat, ia harus kehilangan dua kakinya....pasca kecelakaan itu, ia tidak akan kuliah lagi....” Berbagai macam kabar...bersileweran di kampus, aku tak bisa menyangka, ku ingin menjenguk Ikhsan, namun tak mungkin aku sendiri, Izzah lagi....
”Assalamualaikum....Afwan....”Seseorang mengejutkanku.
”Waalaikummussalam....Iya...” Jawabku, ternyata Hari, adik juniorku.
”Uni...ini ada titipan...” Ujarnya memberikan selembar surat padaku...iapun pergi tampa bilang siapa pengirimnya...(hm...kayak di film-film aja dech).
Di bawah pohon P. Decipiens, aku melepaskan semua kepenatan yang mendera, tidak hanya kepenatan menguras otak, namun juga hatiku yang masih bertanya-bertanya perihal mengenai Ikhsan...temanku yang aneh. Kulihat kertas yang ada ditanganku, hanya kertas biasa, putih dan tidak wangi...(Hm...nggak romantis ne yang ngasih he..he..)

Assalamualaikum wr.wb
Untuk saudaraku yang selalu dalam lindungan Allah....afwan ana lancang mengirim surat ini pada ukhti, afwan jidan karena secara tidak sengaja ana telah membaca unek-unek ukhti yang tertulis dikertas saat TEKAD (temu kader) sebulan yang lalu, kertas tersebut secara tidak sengaja ana temukan saat ana membersihkan tempat, setelah rapat usai.
Hm...ana sangat terkejut sekali ketika membaca tulisan itu, sungguh banyak sekali ternyata Ana telah menzalimi saudara ana sendiri, salah ana karena terlalu egois, salah ana karena terlalu memaksa, salah ana karena terlalu menggurui.
Sungguh, tak ada makhsud sedikitpun untuk menyemai rasa benci dihati ukhti, ana hanya ingin berlaku tegas, ana hanya ingin dakwah ini berjalan dengan baik...namun jika ana salah...ana mohon maaf.....
Tidak menanggapi teguran ukhti, bukan berarti ana sombong, tidak menghargai...bukan....tapi seperti inilah ana, ana hanya tidak ingin hati ini ternodai dengan fitnah-fitnah yang semu, ana berbeda dari yang dahulu...Ya...ana tahu ukhti tau siapa ana yang dahulu, dan ana juga berharap ukhti juga memahami siapa ana yang sekarang.....janganlah pemahaman yang bertolak dari sendiri,  menyulut prasangka yang tidak-tidak pada saudara kita sendiri......afwan
Ana hanya ingin minta maaf.....atas kelemahan-kelemahan ana, atas kesalahan-kesalahan ana yang telah menzalimi ukhti selama ini, ana ingin ukhuwah itu terajut...dalam khasanah pengharapan Ridha ilahi. Afwan

Saudaramu, Ikhsan

Kupandangi tulisan itu berkali-kali, ku tak bisa berkata apa-apa lagi, semua anggapanku selama ini tentangnya seperti berbalik padaku, aku terlalu berburuk sangka padanya, aku hanya memikirkan apa yang akan menguntungkan bagiku, aku tidak pernah mengerti kalau ikhwan berbeda dengan akhwat, aku salah mengerti tingkah ikhsan yang kelewat jaim, terlalu ghadul bashar, maafkan aku juga saudaraku....aku ingin meminta ma’af langsung pada Ikhsan, tapi aku malu padanya...
 Haripun berlalu meninggalkan masa lalu yang mengukir pengalaman, aku mulai belajar memahami bagaimana seharusnya menjadi muslimah yang baik, ku tak tau bagaimana Ikhsan lagi, kabar tentangnya hilang begitu saja, diam-diam ku mencari tahu tentang keberadaannya, ternyata Ikhsan tidak di Indonesia lagi, ia dibawa Ayahnya ke Malaysia. Sejak itu aku tak pernah melihat Si mata Lurus lagi.







Suara Hati Yang Terperangkap

Malam ini Galang kembali dipusingkan oleh ejekan kawan-kawan segengnya. Salah seorang teman Galang meledek, karena motornya sudah ketinggalan zaman. Padahal baru enam bulan yang lalu Papanya membelikan motor itu untuknya, setelah tiga motor sebelumnya hanya tinggal besi tua karena di permak Galang menjadi motor gaul ala gengnya. Ia pusing karena malu pada kawan-kawannya, dan takut meminta kepada mamanya, Galang masih belum terima Papanya telah pergi untuk selamanya, serangan jantung mendadak yang menimpa Papanya sebulan yang lalu membuat keluarga Galang serasa berbalik 180 derajat. Kemewahan yang dulu selalu menghiasi hari-harinya kini seakan hilang dari hari kehari, namun Galang masih tetap Galang yang dulu, Galang yang manja dan mendapatkan semua yang diinginkannya sehari setelah diminta.  
            Suatu siang di kampus, Galang berkumpul dengan teman-teman Se-Genknya, Rio tampak memamerkan motor barunya, teman yang lain semangat memuji-muji Rio, Galang tidak senang, ia mau teman-temannya hanya memujinya dan bergantung padanya, Galang diradang cemburu. Galang tak bisa menahan hasratnya lagi untuk membeli motor keluaran terbaru itu, pagi-pagi ia menemui Mamanya yang sedang merapikan pakaian.
            “Ma…Beliin motor lagi Dong Ma” Pinta Galang langsung.
“Hm…motor? Bukannya motor kamu masih bagus Lang!” Ujar Bu Wati mengerutkan kening heran.
            “Tapi udah ketinggalan mode Ma…Galang mau ganti sama yang lebih keren, semua teman-teman Galang sudah punya, tapi Galang yang ketuanya belum punya” Jawab Galang sewot. Bu Wati hanya menarik nafas pasrah, ketakutannya akan kejadian Abang Galang yang meninggal karena narkoba, kembali terekam dibenaknya, ia tidak mau Galang mengalami nasip yang sama dengan Abangnya, Ia tidak mau membuat Galang stess dan takut nantinya akan terperangkap narkoba. Bu Wati tidak menjawab, ia meninggalkan Galang dan berlalu kekamar. Bu Wati lagi-lagi mengabulkan permintaan Galang.
            Bumi berputar sesuai garis edarnya, matahari tetap setia melakukan gerak hariannya agar perputaran waktu terus berganti, Perkuliahan kembali dimulai setelah libur sebulan, kejutan baru dirumah Galang, kedatangan seorang gadis yang akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, kebetulan gadis itu se jurusan dengan Galang, gadis itu adalah anak teman Papa Galang,  karena jarak kampus dengan rumah Galang lumayan dekat, Papa si gadis lebih mempercayai anak gadisnya tinggal dirumah temannya.
            “Nak Kay…..ini kamar kamu, silahkan istirahat dulu, pasti kamu kelelahan, seharian di perjalanan” Kata Bu Wati ramah, mengantarkan gadis yang bernama Kayyisah itu kekamar tamu. “Hm..terima kasih Bu..saya jadi merepotkan Ibu” Ujar Kayyisah tersenyum. Bu Wati terharu, dari dulu ia mendambakan seorang anak perempuan, karena dari keempat anaknya, semuanya laki-laki. Kayyisah adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara, kedua kakaknya sudah bekerja di sebuah perusahaan termansyur di negeri ini, Kayyisah tumbuh menjadi gadis yang rendah hati dan tidak sombong, ia tidak pernah dimanjakan oleh kedua orang tuanya, bahkan Ayahnya amat keras dalam mendidiknya. Kayyisah tergolong gadis yang cerdas dan ulet. Bu Wati jadi membandingkan Kayyisah dengan Galang, ia ingin anaknya adalah Kayyisah.
            “Uwahh…….” Pekik Kayyisah, ia lari terbirit-birit kekamarnya, ia seperti dikejar syetan, setiba dikamarnya, ia langsung menyambar jilbabnya, ia terhenyak membayangkan dirinya telah terihat oleh orang yang bukan muhrimnya. Seperti di telanjangi rasanya, Kayyisah merasa sangat menyesal dan malu pada Allah karena tidak berhati-hati.
“ Ada apa Galang…” Bu Wati tampak berlari dari arah dapur, ia terkejut mendengar pekikan itu. “Hm…ngggak tau tuch….tadi ada anak perempuan aneh, yang tiba-tiba teriak melihat orang” Gerutu Galang berlalu kekamarnya,  Bu Wati mengerti dengan sifat anaknya itu, ia pun menghampiri Kayyisah dikamarnya. Bu Wati mengetuk pintu kamar Kayyisah dengan lembut, Kayyisah membukakan pintu. muka manisnya tersenyum menyambut Bu Wati.
“Ada apa Nak ?” Tanya Bu Wati duduk di tepi ranjang Kayyisah. “Hm…anu Buk….tadi saya lupa pakai jilbab, eh taunya ada laki-laki masuk kerumah, maafkan saya karena telah mengejutkan Ibu” Ujar Kayyisah merasa bersalah. “Hm…Ibu mengerti, yang kamu lihat tadi itu adalah Galang, anak bungsu ibu, dia juga kuliah di UI, jurusan ilmu politik, sekarang sudah semester lima” Jelas Bu Wati, Kayyisah mendengar penuh perhatian.
Kayyisah menjalani hari-hari pertamanya dikampusnya dengan teman-temannya. Di masa satu minggu itu, Kayyisah amat merasakan perbedaan yang signifikan dengan MOS di SMAnya dulu, benar-benar mengejutkannya, capek, takut, lelah, bau,  bersatu padu menemaninya dalam tujuh hari itu.  Dan masa-masa itupun berlalu tanpa terasa. Rasa canggung masih meliputi Kayyisah di hari-hari pertama-tama kuliah, cara belajar di bangku kuliah amat berbeda dengan di SMA, Kayyisah dengan cepat berusaha menyesuaikan diri, ia harus rajin ke Warnet dan keperpustakaan karena tugas dosen yang kebanyakan disuruh membuat makalah.
Malam semakin larut, Kayyisah masih berkutat dengan makalahnya, disela-sela tugas yang butuh konsentrasi penuh itu, tiba-tiba musik keras metalika terdengar dari kamar Galang, Kayyisah banyak sedikit sudah tahu kelakuan Galang, Bu Wati sering curhat padanya, namun Kayyisah belum bisa berbuat apa-apa, image junior masih melekat dalam dirinya, ia masih segan. Kayyisah tidak dapat berpikir jernih, musik keras itu membuatnya pusing, sedangkan makalah itu harus selesai besok, ingin marah, ia hanya tamu yang menumpang di rumah ini. Kayyisah mencari tempat yang aman untuk membuat makalah itu, ia pun  keluar kamar.
“Galang…..jangan begini nak! Mama tidak punya uang lagi…..” Bu Wati tampak terisak didepan pintu kamar Galang. “Bohong……Bohong….coba kalau Papa masih ada semuanya pasti dikasih” Teriak Galang mengalahkan musik syetan itu. “Galang….jangan begitu Nak….Mama sayang sama kamu, jangan lakukan itu Nak…..”Bu Wati terduduk pasrah didepan pintu kamar Galang, Kayyisah merasa kasihan melihat wanita lemah itu menangis menahan ulah anaknya yang sudah sangat kelewatan. “Ibu……” Kayyisah membantu Bu Wati bangkit. Tubuh kurus itu dibaringkannya di kamarnya, Kayyisah terus menghibur Bu Wati dengan tulus. Setelah Bu Wati agak tenang, Kayyisah meninggalkannya dengan sekecup sayang.
“ Bang Galang….buka..pintunya….” Teriak Kayyisah menggetok pintu kamar Galang dengan keras. “Mau apa kau ha….???” Teriak Galang ketus dari dalam. “Saya mau bicara…” Balas Kayyisah tak kalah berteriak, ia menggedor makin keras, Galang kesal. “Ada apa???” Bentaknya membuka pintu. “Assalamualaikum” Ucap kayyisah, langsung masuk dan mematikan Power Tape Galang. “Apa-apaan sich kamu???” Bentakan Galang makin keras, wajahnya makin kusut dan telihat kalut. Kayyisah tampak tenang, ia hanya menggeleng kepala melihat kamar Galang yang seperti kapal pecah. “He kau tuli ya…..” Bentak Galang ingin  memukul Kayyisah. “Prakkkkk….” Tamparan itu tepat mendarat dipipi tirus itu, ia mengadu, Kayyisah menamparnya dengan penuh tenaga.
“Apa Abang sudah sadar? apakah syetan yang sedang bercokol di benak Abang sudah pergi???” Tanya Kayyisah dengan nada menekan, Galang terkejut akan mendapatkan serangan seperti itu, dari seorang Kayyisah, gadis berjilbab yang seharusnya tak bisa melakukan aksi ekstrim ini. “ Hm….Puas….buat wanita yang telah melahirkan abang ke dunia ini menangis…..Puas telah membuat wanita penyabar itu, terus menyalahkan dirinya karena perbuatan bodoh Abang ini???”
“Hm…..kasihan sekali hidupmu Bang, punya kekayaan tetapi terjajah oleh kekayaan sendiri, seharusnya abang lebih beruntung dari anak-anak gelandangan yang belum tentu bisa makan sekali dua hari, Tapi..Hfff….Abang tak lebih dari seorang saudagar yang berwatak pengemis, penjilat,  pengemis yang merugikan orang yang mencintainya dengan tulus….” Kata-kata Kayyisah begitu menusuk ke relung hati Galang, baru sekali ini ia dimarahi, oleh orang yang lebih muda darinya lagi.
“Diam…apa hakmu menasehatiku???” Bentak Galang mendorong Kayyisah keluar. “Aku berhak mengingatkanmu, karena dalam alqur’an wajib menasehati saudara kita, kalau ia salah” Jawab Kayyisah tenang. “Kau bukan siapa-siapa  bagiku, jadi jangan ikut campur urusanku” Selah Galang ketus. “Terserah Abang, jika menganggap aku bukan siapa-siapa, yang jelas aku menganggap abang kakak ku sendiri” Jawab Kayyisah tegas. Galang terdiam, dengan kasar ia menutup pintu, Kayyisah mundur satu langkah. “Coba mulai berpikir dewasa Bang, jika ada masalah, selesaikan baik-baik, jangan justru buat orang lain menderita karena masalah kita, apa lagi sampai menyakiti hati orang tua sendiri, itu dosa besar, coba bawa berwudhu dan shalat, insya allah akan lebih baik, mendengarkan musik seperti itu, justru akan memperparah keadaan, musik keras dapat mengganggu kerja syaraf otak dan merusak mental secara perlahan Lho..lagian juga menggangguku, besok makalahku harus dikumpulkan, kalau abang membunyikan musik keras itu, aku tidak bisa konsentrasi, jadi aku mohon, maklumi aku” Pinta Kayyisah memohon, Galang merenungi kata-kata Kayyisah, ia tersenyum sendiri, ia malu pada dirinya sendiri, ia dinasehati juniornya sendiri, dan itu suatu kelangkaan dalam hidup Galang, Ayahnya saja tidak berani membantahnya, tapi Kayyisah dengan sikap tenang, ia berani membuat Galang menjinak.
Kayyisah berangkat pagi-pagi, ia ada rapat organisasi pagi ini, ia mengeluarkan sepedanya, ketika akan menuju garasi, Galang juga sedang memanaskan motor yang sudah di renovasi abis oleh Galang, Kayyisah tak menatap Galang sekejap pun, ia hanya menunduk dan mengambil sepedanya, Galang hanya melihat ekspresi dingin itu dengan dingin pula.  Diam-diam ia kagum dengan Kayyisah, tiada hari tanpa aktivitas sia-sia bagi Kayyisah, ia dapat memanage waktunya dengan baik, sehingga ia dapat menyelesaikannya dengan baik dan sesuai target. Jauh berbeda  dengannya yang hanya asal-asalan kuliah, lebih banyak nongkrong nggak jelas dengan teman Se-Genknya, melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak penting.
Siangnya terjadi kejadian yang menakjubkan, Kayyisah menampar salah seorang anak laki- laki dikelas, “ Aku tidak akan sakit hati jika kau, menghina ku pribadi, tapi jika kau menghina agamaku, dan kau tahu itu adalah kebohongan besar, maka aku harus mengingatkanmu, bahwa siksa Allah itu sangat pedih, ku berlaku begini, karena ku tak mau kau memanggilku dari lautan neraka, karena tidak menasehatimu hari ini” Kata Kayyisah meninggalkan Rio, salah satu anggota Genk Galang, Galang hanya menonton kejadian itu dari bangku belakang, kebetulan ia juga sama-sama mengulang mata kuliah yang sama dengan Rio dan Kayyisah.
“Shit….baru pertama kali ini aku dipermalukan oleh cewek, Hm….awas tuh cewek dia nggak bakalan selamat hari ini!!!” Guman Rio saat sedang berkumpul di kafe dengan Genknya.
“Sabar Bro….” Bujuk Hafiz yang agak kalem orangnya.
“Sabar gimana maksud Loe, gue nggak terima semua ini” Bentak Rio keras.
Galang tidak berani membela, gengsi teman se-Genk masih membuatnya terperangkap dalam ketakutan akan dikucilkan kawan-kawannya, walaupun hati kecilnya berontak, ingin membantah dan membela Kayyisah, namun ia tak sanggup melakukannya. Sore harinya Galang menjemput Kayyisah,
            “Kay…ayo ikut denganku” Ajak Galang sok cool.
“HaH ???” Kayyisah bertanya keheranan, tiba-tiba Abang angkatnya itu menjemputnya, apa karena peristiwa malam tadi.
“Hm…terima kasih Bang, saya bareng teman-teman saja, soalnya saya mau mengopi tugas dulu” Ujar Kayyisah menolak halus, karena ia tidak mau digonceng Galang, Ia seorang gadis berjilbab yang tahu batasan hubungan seorang laki-laki dan perempuan dalam islam, dan Galang bukan muhrimnya, ia tidak mau timbul fitnah yang akan merugikan orang berjilbab nantinya.
“Saya bawa mobil, sekalian aja bawa teman-teman kamu…..” Ujar Galang masih jaim, ia tidak mau Kayyisah pulang sendiri hari ini, karena Rio cs tadi berencana akan mengerjai Kayyisah  hari ini, Galang ingin menolong Kayyisah tanpa diketahui teman-temannya.
“Cepetan….tadi mama yang nyuruh aku jemput kamu, jadi mau tak mau kamu harus pulang bersamaku..ngerti…!!!” Bentak Galang, Kayyisah yang sedang bersama teman-temannya hanya terngangap heran. Kayyisah tak bisa menolak lagi, ia tak punya alasan yang logis, sepedanya sedang di bengkel, dengan berat hati  ia mengajak teman-temannya untuk ikut bersamanya.
Didalam mobil Kayyisah masih memikirkan apa yang terjadi dengan Galang hari ini, kenapa tiba-tiba ia menjemputnya, dan bersikeras mengantarnya pulang,  Tak sedikitpun Galang bersuara, tatapannya lurus kedepan, hanya sesekali ia menoleh kebelakang, itupun karena mengeluarkan mobil dari parkiran, jadi harus hati-hati agar tidak mengenai mobil lain. Teman-teman Kayyisah turun di simpang jalan, dan kini tinggallah Kayyisah dengan Galang, Kayyisah tak berani bertanya, dan Galangpun tampaknya juga tidak ingin berkata.
“Zzzzzz……..” Hape Galang bergetar.
“Yups Bro? ada apa” Sapa Galang renyah.
“Oh…..hm…oke, biar Gue yang beresin tuh Cewek……” Lanjut Galang kemudian, Kayyisah terkejut apa maksud ucapan Galang, apa maksudnya ingin membereskan cewek itu, pikiran Kayyisah berkelana ke prasangka yang tidak-tidak, ketakutan tiba-tiba menghampirinya, ia berpikir apakah cewek yang dimaksud Galang adalah dirinya, kejadian tadi malam dan siang tadi menguatkan hipotesis Kayyisah. Keherannya pada Galang hari ini terjawab, Kayyisah tidak menyangka Galang akan melakukan itu padanya, sebelum terjadi apa-apa Kayyisah  harus mengantisipasinya.
“Stop……”Teriak Kayyisah tiba-tiba. Galang yang sedang menyetir terkejut mendengar pekikan Kayyisah, “Apa-apaan sich kamu….suara kamu itu memekakkan  telingaku saja” Gerutu Galang masih terus menyetir. “Ku bilang STOP….aku berhenti disini, atau ku lompat” Teriak Kayyisah membuat Galang terkejut, ia meminggirkan mobilnya. Kayyisah langsung turun dan berlari sekencang-kencangnya, Galang masih terhenyak heran, hujan makin lebat, Galang berhasil mengejar Kayyisah.
“Kau gila ya…..kenapa kau lari hah??” Bentak Galang menyalip langkah Kayyisah. Wajah Kayisah memerah menahan takut, ia tiba-tiba menangis. Galang makin heran, perasaan ia tidak melakukan apa-apa pada Kayyisah.
“Kamu jahat…..kamu jahat……..” Isak Kayyisah. Galang makin heran dengan statment Kayyisah yang tidak beralasan. “Pergi kamu, aku benci kamu……Haa….aku benci kamu……, Umi……Kay mau pulang…..” Isak Kayyisah makin mengiris hati. Galang kewalahan, hujan semakin deras, langit gelap membuat suasana sore itu kelam.
“Maksudmu apa ?” Tanya Galang lembut. Ia takut Kayyisah akan bertambah takut kalau dibentaknya lagi. “Kamu ingin memberesiku kan??? Hm…aku tak menyangka kamu akan sebejat itu, aku kecewa padamu…aku benci KAMU…..” Ujar Kayyisah masih sesegukan, Galang ternganga, Kayyisah salah paham dengan pembicaraannya di telpon tadi, walaupun cewek yang dimaksud Galang memang Kayyisah, tapi ia tidak sebejat itu, ia hanya ingin menyelamatkan Kayyisah dari ulah teman-temannya itu. Galang bingung mau menjelaskan perihal sebenarnya pada Kayyisah.
“Hm….oh itu yang membuatmu kayak orang gila begini….makanya Non, tanya-tanya dulu sebelum beraksi, pembicaraan di telpon tadi, memang membicarakan mu, karena aksi beranimu tadi siang membuat temanku Rio sakit hati, dan ia ingin mengerjaimu, namun aku yang mengambil ahli tugas itu, dan kau pikir aku akan sebejat itu, Hm…memang aku tak pernah menyukai kehadirannmu dirumahku, namun aku masih punya hati, kata-katamu tadi malam, seakan melecut kalbuku yang telah banyak noda ini, aku ingin membalas budi baik mu karena telah menasehatiku, selama ini aku tak pernah dibantah, semua yang kulakukan seakan didukung semua, namun kau, kau berani membantahku, kau berani membela prinsip agamamu, kau berani mengemukakan pendapatmu walaupun kau tahu, kau akan terancam resiko yang berbahaya” Ujar Galang mengeluarkan seluruh isi hatinya. Kayyisah terdiam heran, ia bangkit, menghapus air matanya, sungguh zalimnya ia telah berprasangka buruk pada Galang.
“Hah??? Maaf telah membuat tersinggung” Ungkap Kayyisah menunduk, Galang tersenyum.
“Apakah kamu masih ingin disini, sebentar lagi maghrib, apa mau shalat disini?” Ujar Galang bergurau, Kayyisah pun mengiringi langkah Galang, di mobil mereka kembali sama-sama diam, merenungi peristiwa hari ini yang akan jadi kenangan.
Haripun berlalu, sebuah surat panggilan interview  membuat Kayyisah sangat bahagia, interview ini adalah tes terakhir untuk mendapatkan beasiswa ke Jerman. Dan Kayyisah amat berharap ia bisa mendapatkan Beasiswa itu. Rencana Allah akan indah ketika waktunya, dan Allah akan sesuai dengan persangkaan hambanya, setelah mengikuti berbagai test, akhirnya Kayyisah dinyatakan lulus. Rasa syukur menentramkan hati Kayyisah, sebentar lagi kakinya akan menginjak Jerman, ia akan melanjutkan S1 nya disana.
Dihari keberangkatan Kayyisah, ia berpamitan dengan semua keluarga dan teman-temannya. Saat itu Galang sedang Kuliah Praktek, jadi Kayyisah tak bisa berpamitan langsung dengan Galang.
To. Bang Galang
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang baik, baik buruknya dia di dunia adalah goresan kuas kehidupan yang melukisnya, namun sebagai manusia yang suci, kita diberi Allah hak untuk membuat lukisan apa pada diri kita sendiri. Suara hati adalah penghapus bagian yang tidak pantas tergores dalam kanvas diri, karena dia tahu mana yang terbaik buat diri, kenali lagi diri, jangan kurung suara hati mu dalam bilik-bilik kegelapan yang juga hanya menggores warna hitam dalam kehidupan kita.Terima kasih atas semuanya.Moga Allah senantiasa menjagamu Bang. Kayyisah.
                                                                                                                                                                                                                                  Galang tertunduk merenungi surat itu, ia tersenyum tampa arti, matanya menatap setiap rangkaian huruf surat itu dengan terharu, bahagia karena masih ada orang yang memperhatikannya selama ini, sedih karena orang itu tidak akan dilihatnya lagi hari ini dan hari berikutnya, hanya Allah yang tahu bagaimana perasaan Galang saat ini. Ia sadar bahwa selama ini, ia hanya terperangkap dalam keegoisannnya yang mengabaikan suara hatinya. Suara hati yang selalu mengarahkannya pada jalan kebenaran, ia kurung dalam jeruji kemunafikan, ia kurung dalam kandang hawa nafsu yang merugikan. Galang menangis mengenang semua kelakuannya yang telah banyak menyakiti orang-orang disekitarnya, kakinya melemah, jatuh dalam sujud, nafasnya sesak menahan isak penyesalan, ia ingin berubah, ia ingin membuktikan kalau ia juga bisa membuat orang yang disayanginya tersenyum. 


YANG TERPISAHKAN
By : Viona Novelia



Guguran daun rambutan di depan rumah mertua sungguh elok dipandang, dua hari sudah mulai beradaptasi di rumah sang Imam yang baru seminggu yang lalu menerima tanggung jawab dari Ayah untuk selanjutnya membimbingku. Bagaimana awal kami bertemu, kami bertemu hanya beberapa minggu sebelum akad, bermodal keyakinan dan jawaban istikharah aku menerimanya sebagai jalanku untuk menunaikan ibadahku dan menggenapkan agamaku. Semuanya dimudahkan, dilancarkan dan aku sangat terharu saat suaranya menyambut ijab dari Ayahku. Ia telah berani menggenggam mitsaqan ghalizhah (perjanjian yang sangat berat) yang tidak semua kaum adam mampu melakukannya. Sangat bangga ^_^

Seminggu di kampung halaman, ia bermusyawarah dengan kedua orang tua yang telah membesarkan aku sampai seperti ini. Hasil dari musyawarah itu aku harus mengikutinya untuk hidup bersamanya di negeri kelahirannya, karena saat ini dia juga tengah berjuang menyelesaikan magister dan mengelola beberapa usaha yang ia rintis sejak masih kuliah sarjana. Nah itulah yang membuatku saat ini berada di Kota Kembang ini, saat ini masih menumpang dengan keluarganya, dengan rasa campur seperti es campur, lebih banyak menjaga sikap, dan menjaga rasa. Aku yang tidak mahir memasak seringkali di omeli mertua karena ia tidak ingin anaknya tidak enak makan di rumah, sambil mengusap dada, aku belum terbiasa masakan mereka yang serba manis, wong aku saja suka pedes, kalo bisa sampai berlinangan air mata sampai hidung berapi-api mengendus-ngendus saking pedesnya. Benar-benar masa-masa adaptasi dengan cara hidup mereka, makanan, adat, dan itu cukup sulit, namun akan lebih sulit jika aku harus komplain dan paksa suamiku pindah, bagaimanapun aku akan jadi menantu yang baik buat ibu mertua. 
"Hari ini gimana, di omeli ibuk lagi yah" Tanya suamiku saat sedang kusuguhkan kopi buatnya, ia harus begadang untuk mengejar deadline thesisnya.
"Alhamdulillah, omelan yang membuatku bisa masak makanan kesukaanmu hehe" Jawabku tersenyum riang.
"Sabar ya sayang, insya Allah kalau tabungan kita cukup, kita akan coba kontrak rumah, agar tidak terlalu merepotkan Ibuk dan Bapak" Ujarnya menepuk pipiku.
"Iyah, Insya Allah akan selalu sabar, kalau suaminya sebaik ini" Pujiku sambil berikan senyum terbaik.
"Kalau abang mau, kita bisa pakai tabunganku, insya Allah aku pikir cukup" lanjutku.
"Nggak Dek, itu tabunganmu, untuk kewajiban biaya keluarga, abang yang pikirkan, kamu bersabar dahulu yah, moga Allah mudahkan rejeki kita" Ujarnya tegas, inilah yang membuatku makin paham siapa dia, sangat bertanggung jawab dan optimist, hari demi hari dibingkai dengan kerja dan harapan-harvpan yang positife itu jauh lebih indah jika menikmati apa adanya.

Sore itu suamiku pulang dengan tampang kusut,langkah tergesa-gesa, sambutan senyumkupun hanya disambut singkat, sangat singkat. Terdengar suara guyuran air, aku makin penasaran, dengan apa yang telah berlaku pada Imamku, bibirku terus berucap agar hatinya dilembutkan dan ditenangkan, beristighfar memohon ampun jika kejadian itu ada sangkut pautnya dengan kesalahanku di hari-hari dahulu. Ku coba untuk menghampirinya, ia telah tampak segar setelah mandi. Ia tergesa-gesa mengambil sajadah ddan langsung menyegerakan asyar, ia telat shalat untuk sore ini. Ku duduk di belakangnya, sujudnya lama sekali, sampai selesaipun ia berdoa sambil terisak-isak. Berbagai pikiran kusut dalam otakku, aku makin yakin dia sedang dihadapkan oleh masalah yang amat berat.
"Assalamulaikum bidadariku, apa kabar hari ini" sapanya melihat kebelakang sambil menyeka air matanya.
"Waalaikumussaam, abang kenapa? ada yang bisa Na bantu?" Tanyaku heran, intonasinya justru biasa, tidak mencerminkan orang yang punya masalah.
"Alhamdulillah, Allah telah berikan solusinya Dek" Jawabnya tersenyum mengait jemariku.
"Oh ya?? Masalah apa itu, boleh Na tahu" Tanyaku lagi.
"Boleh Dong Dek, hari ini abang mendapatkan ujian , toko yang di dekat kampus di tarik pemiliknya, dan karyawan abang di usaha Es Krim juga lari membawa semua uang dan ternyata ia meninggalkan hutang yang kini harus abang tanggung, dan ditambah lagi proposal thesis abang ditolak sama dosen, jadi harus di ulang lagi deh semuanya, alhamdulillah itu artinya Allah akan segera memberikan kebahagian terindah buat abang, Hmm..jadi penasaran deh..atau jangan-jangan akan segera di panggil ayah " Jelasnya dengan nada yang membuatku makin heran, seharusnya kan menangis, menghiba, eh ini malah melucu. Dia tersenyum bahagia, aku justru mengernyitkan dahi. Suamiku jadi orang aneh. 
"Alhamdulillah kalo begitu, semoga ajah ya abang, nanti kalo sudah ada saingan, jangan pilih kasih yah" responku menjewer telinganya, ia masih tersenyum, namun saat aku mengusap kedua pipinya, ia mulai menangis terisak-isak lagi. Astaghfirullah, kau takkan pernah membohongiku abang, no problem, kita akan lewati semua bersama. OKe.

Handponenya berdering " Assalamulaikum, iyah, oke, ya, besok kita akan berangkat, siip " responnya.
"Dek, besok kita akan mendaki, abang sudah atur semuanya, sekarang bantu packing yah " Ujarnya bersemangat.
"Mendaki?? mendaki apa bang?" tanyaku heran lagi.
"Mendaki Gunung Ciremai" Jawabnya mencari alat-alat naik gunungnya, aku tahu dia dahulunya seorang pendaki gunung juga.
"Loh, kok tiba-tiba bang" Tanyaku 
"Bukan tiba-tiba kok Dek, ini sudah abang rencanakan jauh-jauh hari, impian abang salah satunya, bisa mendaki dengan Istri, nah sekaranglah waktunya, kamu mau kan ikut bersama" Lanjut abang menggoncang bahuku yang seperti orang linglung.

############
Perjalanan menaklukkan puncak Ciremei dimulai, kami ikut rombongan komunitas pasca sarjana yang diketui oleh abang sendiri. Sebelum berangkat, abang memimpin doa dan memberikan pengarahan tentang persiapan yang harus ada saat mendaki, dengan bantuan dua orang pemandu aku yakin perjalanan ini akan lancar saja.
"Gimana persiapannya Na, balsem, syal dan pakaian hangatnya udah kan?" Abang meghampiriku dan memastikan aku tidak lupa apa yang harus kubawa.
"Pakai sarung tangannya, karena di pos kedua akan banyak semak berduri dan tumbuhan yang bisa buat kita gatal" Lanjut abang membantuku memakain sarung tangan *so sweeet, bikin iri yang lagi jomlo ajah kalau begini.
"Siap Boss" Lanjutku menempelkan tangan di kening, hormat bendera.
"Bendera merah putih juga abang bawa, nanti kita berfoto di puncak, buat kado anak cucu, Okeyy cantik " balas abang menepuk pundakku.

Pos pertama namanya Cigowong yang masih di aliri sungai dan masih ada tempat camp untuk beristirahat, kemudian terus menanjak ke pos Kuta, dilanjutkan ke Pos Badak, lalu kamipun sampai ke Pos Arban yang disana sini ada buah arbei, warna-warni macam berry imut, seperti anak kecil aku memetiknya dan mengumpulkannya dalam kantong jaket hangatku, abang yang lihat cuma senyum-senyum ajah. Abang juga memberikan pengetahuan tentang bagaimana bertahan di hutan, dan tumbuhan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan. Aku dan kawan-kawan lain menjadi pendengar yang baik, dan terus ikut apa kata Abang Ketua. Perjalanan belum juga berakhir, kali ini kami melewati tanjakan, tubuh sudah makin lelah, namun hati terus ingin mendaki, ada beberapa orang sahabat yang sudah kelelahan, termasuk aku, tapi aku cuma bisa diam, tidak berani bicara, untung saja ada teman yang berani, jadi aku menarik nafas lega, kalau abang tahu aku gengsi bicara, bisa marah dia. Soalnya saat mau berangkat, abang wanti-wanti aku sampaikan jika aku lelah, jika aku sakit dan lain-lain itu demi kelancarkan perjalanan dan juga keselamatan jiwa. Akhirnya rombongan dibagi, yang rombongan pertama berjalan dahulu untuk mendirikan tenda dan api unggun, karena hari sudah mulai larut juga, yang rombongan dua beristirahat sejenak, dan aku di rombongan kedua ^_^

Suhu makin dingin, kakiku mulai kram, cahaya api unggun sudah nampak dari jauh, pertanda kami rombongan kedua akan sampai di camp. Namun kakiku tiba-tiba tidak bisa digerakkan, aku tersungkur dan tanganku mulai membeku, salah seorang berteriak memanggil teman yang sudah berjalan dahulu, aku dipeluk oleh kawan perempuan sambil memegang jari-jariku yang mulai kaku, seperti di sentrum listrik. Tidak sampai 2 menit, aku dengar suara abang, ia membawaku ke camp dan membaringkanku di dekat api unggun, ia nampak cemas sekali, kawan-kawan perempuan membantuku meluruskan jari-jariku yang mulai bengkok, semua orang panik, apalagi abang, ia melilitkan syal berlapis-lapis dileherku, dan terus mengucapkan doa. Aku dengar tapi hanya badan yang tidak bisa digerakkan, aku menangis melihat orang panik.

Langit tiba-tiba menghitam, tiba-tiba terjadi getaran, getaran yang makin lama makin berguncang, hujan mengguyur disertai badai. Semua orang makin panik, berteriak-teriak berlari kesana kemari.
"Ada gempa, Ada badai" 
"Astaghfirullah.....Astaghfirullah...." Abang memelukku dengan erat.
"Bertahan Na, Bertahan, kita akan segera pulang kerumah, kamu harus Kuat" Ia mulai terisak.
Tiba-tiba air besar menghadang kami, tubuhku terbawa air, dan aku tak lagi merasakan ada abang didekatku, kemana dia, semuanya kabur dan gelap. Jiwa dan raga yang terpisahkan.

Aku tersentak, dan sadarkan diri, di sekelilingku ada coretan-coretan impian bergambar, sepraiku yang bewarna biru, peta indonesia yang sudah ada label pertanda telah kukunjungi. Lemari buku yang tersusun rapi, dan meja yang nampak berantakan dengan laptop yang masih menyala. Aku ingat tadi malam aku baru saja melanjutkan novelku. Aku hanya mimpi, dalam mimpi itu aku sudah menikah namun harus terpisahkan karena bencana *tragis sekali mimpi itu, Oh TIDAKKKKKKKKKKKKKKKKkk, Untung saja hanya Mimpi, semoga sesion TRAGEDI terpisahkannya tidak ada dalam jalan hidupku yah ^_^

Mencoba kembali mengurai imajinasi dalam dimensi kata yang terserah aku, Wong aku penulisnya hahaha, Cerita diatas cuma fiktif belaka, jika ada hikmah yang bisa diambil silakan di ambil, cuma mau Nge-Tes apa imajinasi dan jemariku masih bisa memadukan kata dalam naskah.

Bersemangat ^_^
<photo id="1" />